WAHANANEWS.CO, Jakarta - Keputusan Swiss untuk membeli 36 unit jet tempur siluman F-35A Lightning II dari Amerika Serikat memicu badai kontroversi yang mengguncang prinsip netralitas negara tersebut dan menimbulkan perdebatan tajam tentang arah kebijakan pertahanan masa depan.
Survei WatsonActu yang dirilis awal 2025 mencatat bahwa 81 persen warga Swiss menentang akuisisi ini, dengan angka penolakan bahkan mencapai 87 persen di wilayah berbahasa Prancis.
Baca Juga:
Insiden di Kibbutz Nir Yitzhak, Bom Salah Sasaran Bikin Militer Israel Malu
Angka ini mencerminkan sikap publik yang semakin resah terhadap keputusan pembelian yang telah diteken sejak September 2022.
Menurut laporan Bulgarian Military, Senin (21/4/2025), petisi untuk membatalkan kontrak senilai USD6,1 miliar itu telah memperoleh ribuan tanda tangan.
Gerakan ini didorong oleh keresahan akan kompatibilitas jet tempur generasi kelima dengan identitas pertahanan Swiss yang defensif dan netral.
Baca Juga:
China Pamer Jet Futuristik, AS Bangun Frankenjet dari Rongsokan F-35
"F-35 bukan jet yang kita butuhkan. Ini adalah jet untuk menyerang, bukan untuk mempertahankan langit Swiss," kata seorang anggota Partai Hijau yang mendukung petisi tersebut pada Maret 2025.
Ketika netralitas masih menjadi nilai inti bagi Swiss -- ditegaskan kembali oleh 96 persen warganya dalam survei Swiss Broadcasting Corporation tahun 2021 -- maka pemilihan pesawat tempur ofensif seperti F-35A dianggap tidak sejalan dengan misi Angkatan Udara Swiss yang fokus pada pengawasan dan pencegahan.
Banyak pihak mempertanyakan mengapa pemerintah lebih memilih F-35 ketimbang jet Dassault Rafale buatan Prancis yang dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan Swiss.
Keputusan ini bahkan hanya didukung secara tipis dalam referendum tahun 2020, dengan 50,1 persen suara setuju untuk pendanaan jet baru.
Para kritikus menyebut F-35 sebagai "opsi Ferrari" -- terlalu canggih dan mahal untuk negara kecil dengan pendekatan pertahanan yang hati-hati.
Ketergantungan pada sistem logistik dan pemeliharaan berbasis Amerika, termasuk jaringan ODIN yang menggantikan ALIS, memunculkan kekhawatiran baru soal otonomi operasional Swiss.
"Satu hal yang harus kita pertahankan adalah kendali penuh atas alat utama sistem senjata kita," ujar salah satu pengamat militer Swiss.
"F-35 membuat kita terlalu bergantung pada Amerika."
Data Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO) tahun 2023 mengungkap bahwa hanya 55 persen armada F-35 AS yang mampu menjalankan misi pada waktu tertentu.
Masalah keandalan mesin, software, dan rantai pasokan menjadi perhatian serius, apalagi jika Swiss harus mengandalkan Lockheed Martin untuk pembaruan rutin.
Tak hanya aspek teknis dan biaya, keputusan ini juga membawa konsekuensi geopolitik.
Di tengah meningkatnya ketegangan keamanan Eropa setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, Swiss menghadapi dilema antara mempertahankan netralitas atau mendekat ke sistem NATO, tanpa menjadi anggota resmi aliansi tersebut.
Kebocoran laporan evaluasi pengadaan pada tahun 2021, yang dimuat oleh Neue ZĂĽrcher Zeitung, memperkuat tuduhan bahwa pemilihan F-35 berat sebelah dan didorong oleh kepentingan politik jangka panjang, bukan kebutuhan militer yang realistis.
Rafale, dengan arsitektur terbuka, biaya perawatan yang lebih rendah, dan rekam jejak tempur di Mali dan Suriah, disebut-sebut sebagai opsi yang lebih logis bagi Swiss.
Keunggulan lainnya adalah kontrol yang lebih besar atas perangkat lunak dan logistik, yang membuatnya cocok bagi negara yang menjunjung tinggi kemandirian.
Seorang anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat menyatakan, "Rafale mungkin bukan jet tercanggih, tapi itu yang kita perlukan—efisien, handal, dan tidak membuat kita tergantung pada satu negara."
Di sisi lain, pemerintah Swiss yang dipimpin Menteri Pertahanan Viola Amherd tetap mempertahankan keputusan mereka.
"F-35 menawarkan performa luar biasa dengan biaya operasional jangka panjang yang kompetitif," kata Amherd dalam konferensi pers baru-baru ini. Namun, tekanan publik yang kian meningkat telah membuat posisinya menjadi sorotan.
Program F-35 sendiri merupakan tulang punggung strategi ekspor pertahanan AS, dengan proyeksi biaya seumur hidup mencapai USD1,58 triliun hingga tahun 2088, menurut GAO.
Penarikan Swiss dari proyek ini bisa memberi sinyal buruk bagi kelangsungan koalisi pengguna F-35 di dunia.
Di Eropa, langkah Swiss bisa memperkuat posisi industri pertahanan regional. Prancis dan Jerman tengah mengembangkan Future Combat Air System (FCAS), platform generasi keenam yang diharapkan hadir pada 2040, sebagai penyeimbang dominasi AS.
Di tingkat domestik, Swiss bukan pertama kalinya mengalami kegagalan dalam proyek akuisisi jet. Pada tahun 2014, rencana pembelian Saab Gripen E senilai USD3,5 miliar ditolak oleh 53,4 persen pemilih dalam referendum.
Preseden ini menjadi acuan penting bagi penentang F-35 saat ini, yang sedang menggalang referendum baru lewat petisi nasional.
Koalisi penolak yang terdiri dari aktivis sipil, akademisi, dan sejumlah partai politik berusaha membatalkan kontrak F-35 sebelum pengiriman pertama dijadwalkan pada tahun 2027.
"F-35 mengikat kita pada satu pemasok dan mengancam kedaulatan kita," tegas seorang politisi Partai Hijau dalam wawancara televisi.
Secara global, isu ini menjadi cerminan dari pergeseran persepsi tentang ketergantungan pada teknologi militer AS.
Beberapa negara seperti Belanda dan Norwegia telah sepenuhnya mengintegrasikan F-35 ke dalam sistem pertahanannya, sementara yang lain seperti Kanada menghadapi gelombang penolakan serupa.
Meski Israel telah memodifikasi F-35 untuk misi serangan presisi di Suriah, penggunaan semacam itu tidak relevan bagi Swiss yang lebih membutuhkan jet andal untuk patroli udara dan intersepsi.
Perbandingan dengan jet seperti Su-57 Rusia atau J-20 Tiongkok pun dianggap tak relevan karena Swiss tidak berambisi menjadi kekuatan militer global.
Jika kontrak F-35 dibatalkan, Swiss kemungkinan besar akan kembali membuka negosiasi untuk membeli Rafale, memperkuat industri pertahanan Eropa, namun sekaligus memicu ketegangan diplomatik dengan AS.
Dengan ketegangan yang terus meningkat, masa depan modernisasi Angkatan Udara Swiss masih berada dalam ketidakpastian -- dan semua mata kini tertuju pada kemungkinan referendum kedua yang dapat mengubah arah sejarah militer negara netral ini.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]