WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan dagang antara China dan Amerika Serikat kembali memanas setelah Beijing mengambil langkah berani untuk menanggapi kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Washington.
Perang tarif ini menjadi sorotan global karena dampaknya yang berpotensi mengguncang perekonomian dunia.
Baca Juga:
Tarif 145%! Trump Hantam China Tanpa Ampun, Perang Dagang Makin Membara
Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini memicu eskalasi konflik dengan menetapkan pajak impor yang sangat tinggi terhadap produk China, mencapai sekitar 104 persen.
Tidak tinggal diam, pemerintah China merespons dengan menetapkan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap berbagai produk asal AS.
Keputusan ini menandai babak baru dalam persaingan ekonomi antara dua kekuatan global tersebut.
Baca Juga:
10 Negara Paling Dibenci di Dunia: China, AS, dan Rusia di Urutan Teratas
Langkah berani China ini diambil meskipun Trump telah memperingatkan agar Beijing tidak melakukan aksi balasan.
Para pengamat menilai bahwa Presiden China, Xi Jinping, tampaknya sedang melakukan reorientasi ekonomi serta memperkuat ketahanan nasional agar tidak bergantung pada tekanan eksternal.
Keberanian ini mengindikasikan bahwa China kini semakin percaya diri dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan proteksionisme AS.
"Jika Anda adalah Xi Jinping, Anda mungkin berpikir, 'Kami cukup tangguh dalam hal teknologi dan kemandirian ekonomi, jadi tarif ini tidak akan berdampak besar bagi kami'," ujar Lily McElwee, peneliti dari Pusat Studi Strategis dan Internasional.
Menurutnya, Xi Jinping juga memiliki "alat pembalasan" yang dapat digunakan untuk memberikan tekanan balik terhadap AS.
Dampak dari perang dagang ini diperkirakan dapat memicu lonjakan inflasi di AS, yang pada akhirnya berisiko mendorong resesi ekonomi.
Jika hal itu terjadi, AS mungkin akan mencari jalan damai dengan menawarkan negosiasi yang lebih menguntungkan bagi China.
Posisi Beijing sebagai pemasok utama barang elektronik dan teknologi ke pasar AS membuat dampak tarif tinggi ini akan sangat dirasakan oleh konsumen Amerika.
Selain tarif balasan, China juga memiliki opsi sanksi lainnya, termasuk penghentian ekspor mineral tanah jarang yang sangat dibutuhkan oleh industri teknologi AS.
Mineral ini menjadi perhatian utama bagi pemerintahan Trump, yang sebelumnya telah berupaya mencari alternatif pasokan dari wilayah lain seperti Ukraina dan Greenland.
Di luar sektor teknologi, China juga dapat menerapkan pembatasan terhadap perusahaan hukum dan komersial asal AS yang beroperasi di negaranya.
Langkah ini akan semakin memperumit hubungan dagang kedua negara dan memperbesar ketidakpastian di pasar global.
Sektor pertanian AS pun tidak luput dari potensi serangan balik Beijing. China bisa saja mengurangi impor produk agrikultur seperti kacang kedelai dan sorgum, yang merupakan komoditas ekspor utama AS ke pasar China.
Pembatasan ini bukan hanya akan merugikan petani Amerika, tetapi juga memperburuk hubungan perdagangan kedua negara.
Meski langkah-langkah pembalasan ini juga membawa risiko bagi China, strategi Xi Jinping menunjukkan bahwa Beijing siap menghadapi tekanan dan tidak akan tinggal diam menghadapi agresi ekonomi AS.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]