WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tragedi di puncak Gunung Rinjani terus bergulir hingga lintas negara. Kematian seorang wisatawan asal Brasil, Juliana Marins, tak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga, tapi juga menimbulkan tanda tanya besar.
Negara asal korban bahkan mulai mempertimbangkan jalur hukum internasional jika terbukti ada unsur kelalaian dalam proses penyelamatan.
Baca Juga:
Neymar Perpanjang Kontrak di Santos hingga 2025, Siap Bangkit Demi Piala Dunia
Pemerintah Brasil kini tengah menunggu hasil autopsi ulang terhadap jenazah Juliana Marins, pendaki berusia 26 tahun yang ditemukan tewas setelah terjebak selama empat hari di kawasan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Taisa Bittencourt, advokat hak asasi manusia dari Kantor Federal Pembela Publik Brasil (DPU), menyampaikan bahwa autopsi ulang dilakukan atas permintaan keluarga Marins.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kejelasan menyeluruh mengenai penyebab kematian yang hingga kini masih dianggap tidak transparan.
Baca Juga:
Dipakai untuk Supermarket, Pabrik, dan Area Publik, ALPERKLINAS Apresiasi Panel Surya Karya Anak Bangsa Diborong Brasil
“Kami menunggu laporan (dari pihak Indonesia), dan setelah laporan ini sampai di kami, kami akan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Autopsi kedua ini adalah atas permintaan keluarga Juliana,” ujar Bittencourt, dikutip dari media lokal Globo.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah Brasil akan mendukung keputusan keluarga, termasuk jika mereka memutuskan membawa kasus ini ke forum internasional.
Autopsi pertama yang dilakukan tim forensik Rumah Sakit Bali Mandara menyebutkan bahwa Marins meninggal dunia sekitar 20 menit setelah jatuh, dengan luka terparah di bagian dada akibat benturan benda tumpul.
“Luka paling parah ditemukan di bagian dada belakang yang merusak organ-organ pernapasan. Ini yang jadi penyebab utama kematian,” kata dr. Ida Bagus Putu Alit, dokter forensik RS Bali Mandara, dalam konferensi pers Jumat (27/6).
Namun, pihak keluarga menilai informasi dari Indonesia sangat minim, terutama mengenai kapan tepatnya Marins jatuh dan mengapa proses evakuasi memakan waktu hingga empat hari.
DPU dikabarkan telah meminta Kepolisian Federal Brasil untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran kriminal dalam kasus ini, termasuk dugaan pengabaian oleh otoritas Indonesia dalam penanganan insiden tersebut.
Jika ditemukan indikasi kelalaian, kasus ini berpotensi dibawa ke lembaga hukum internasional seperti Inter-American Commission on Human Rights (IACHR). Kantor Jaksa Agung Brasil (AGU) pun menyatakan siap mendampingi proses autopsi ulang dan memberikan dukungan hukum kepada keluarga korban.
“Adalah hal yang penting untuk melakukan autopsi dan analisis ulang demi memastikan penyebab kematian. Ini cara untuk menjamin bahwa keluarga korban menerima hak dan perlakuan yang layak dalam kerangka hukum Brasil,” tulis AGU dalam pernyataan resmi.
Dari catatan kronologis yang dihimpun, Marins diperkirakan jatuh pada 21 Juni sekitar pukul 06.30 WITA.
Tim SAR gabungan mulai melakukan pencarian beberapa jam setelah kejadian, namun akses ke lokasi terhambat cuaca ekstrem dan kabut tebal.
Baru pada Senin (24/6/2025) korban ditemukan dalam kondisi tidak bergerak.
Sayangnya, evakuasi juga tak bisa langsung dilakukan karena medan ekstrem dan cuaca yang tidak bersahabat. Jenazah baru berhasil dievakuasi dua hari kemudian, Rabu (26/6/2025) pagi pukul 06.00 WITA.
Pakar kebencanaan dari Universitas Indonesia, Prof. Dwi Sutarno, menilai kasus ini harus dievaluasi secara menyeluruh, termasuk sistem komunikasi, koordinasi, dan peralatan pencarian di kawasan wisata ekstrem.
“Gunung Rinjani adalah salah satu destinasi mendaki paling populer di Indonesia. Tapi kalau dalam kasus seperti ini butuh waktu empat hari untuk evakuasi, maka ada sesuatu yang perlu dibenahi, bukan hanya di lapangan tapi juga dalam sistem manajemen krisis,” ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]