WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengumumkan kebijakan tarif baru terhadap produk impor asal China pada Kamis (10/4/2025) waktu setempat.
Langkah ini semakin menegaskan pendekatan tegas Presiden Donald Trump dalam menghadapi mitra dagang utama AS di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara kedua negara.
Baca Juga:
2049 Jadi Tahun Kebangkitan China dan Awal Kecemasan Baru Amerika
Dengan kebijakan ini, produk-produk dari China kini dikenai tarif minimum sebesar 145%, yang jauh lebih tinggi dari tarif sebelumnya.
The New York Times melaporkan bahwa kebijakan ini diumumkan hanya sehari setelah Trump menyatakan bahwa tarif atas barang-barang dari China akan dinaikkan menjadi 125%.
Kenaikan tersebut merupakan respons terhadap tindakan balasan yang dilakukan Beijing atas kebijakan tarif yang telah diberlakukan sebelumnya oleh AS.
Baca Juga:
Mengaku sebagai Tuan Setan, Pria AS Ini Ancam Bunuh Trump dan Elon Musk
Namun, Gedung Putih kemudian mengklarifikasi bahwa angka 125% tersebut merupakan tambahan dari tarif awal sebesar 20% yang telah diterapkan sebelumnya.
Kenaikan tarif ini diberlakukan sebagai bentuk hukuman atas dugaan keterlibatan China dalam memasok fentanil ke Amerika Serikat, yang telah menjadi perhatian utama pemerintahan Trump dalam perang melawan penyalahgunaan narkoba.
China tetap menjadi negara asal impor terbesar kedua bagi AS serta produsen utama berbagai barang konsumsi global, seperti ponsel, mainan, komputer, dan produk rumah tangga lainnya.
Dengan pemberlakuan tarif yang tinggi, biaya impor produk-produk ini akan melonjak drastis, yang pada akhirnya berdampak signifikan pada distributor, pengecer, dan konsumen Amerika.
Gedung Putih juga menegaskan bahwa tarif 145% tersebut hanyalah batas bawah, bukan batas maksimal.
Dengan demikian, tarif ini dapat meningkat lebih tinggi seiring dengan kebijakan tarif lain yang telah diterapkan Trump sebelumnya.
Kebijakan serupa mencakup tarif 25% untuk baja, aluminium, mobil, dan suku cadang; serta berbagai tarif lainnya yang dikenakan pada periode pertama pemerintahan Trump atas produk-produk yang dianggap melanggar aturan perdagangan AS.
Struktur tarif yang semakin kompleks ini menciptakan tantangan besar bagi para pelaku usaha dalam menghitung biaya impor.
Perubahan kebijakan yang cepat juga menyebabkan ketidakpastian di kalangan importir, baik perusahaan besar di sektor ritel maupun usaha kecil yang sangat bergantung pada produk buatan China.
Selain itu, selisih antara tarif 125% dan 145% dapat berarti tambahan biaya ribuan dolar untuk satu kontainer produk, yang semakin menekan margin keuntungan para importir dan pelaku bisnis di Amerika Serikat.
Meskipun kebijakan ini telah resmi diumumkan, pemerintahan Trump memberikan pengecualian sementara bagi barang-barang yang sudah dalam perjalanan menuju AS.
Produk yang dikirim melalui udara akan mulai dikenakan tarif dalam beberapa hari ke depan, sedangkan barang yang dikirim melalui jalur laut akan dikenakan tarif begitu tiba dalam beberapa minggu mendatang.
Pengecualian ini memberikan waktu singkat bagi importir untuk menyesuaikan strategi logistik mereka, tetapi banyak yang merasa bahwa waktu yang diberikan tetap terlalu singkat untuk mencari alternatif yang lebih baik.
Pintu Negosiasi Terbuka
Di sisi lain, Trump dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick menegaskan bahwa sejumlah negara telah mendatangi mereka untuk melakukan negosiasi guna menghindari dampak ekonomi yang lebih besar akibat kebijakan tarif ini.
"Semua pihak ingin bernegosiasi dan mencapai kesepakatan. Kami sedang bekerja sama dengan berbagai negara, dan semua berjalan dengan sangat baik," ujar Trump dalam rapat kabinet.
Senada dengan itu, Lutnick menambahkan bahwa banyak mitra dagang mulai merespons setelah Trump menuntut agar mereka memperlakukan AS dengan lebih adil melalui kebijakan dagang yang tegas.
"Kami memiliki banyak negara yang ingin bernegosiasi. Mereka datang dengan tawaran yang sebelumnya tidak akan pernah mereka berikan, jika bukan karena langkah-langkah yang diambil Presiden untuk memastikan AS diperlakukan dengan hormat," katanya.
Namun, negara mana saja yang akan mencapai kesepakatan dan dalam bentuk apa, masih belum jelas.
Sebagian besar kesepakatan yang dinegosiasikan pemerintahan Trump kemungkinan besar bukanlah perjanjian perdagangan komprehensif, yang biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk ditetapkan dan membutuhkan persetujuan kongres.
Sebaliknya, kesepakatan yang lebih terbatas mungkin hanya memberikan keuntungan bagi sebagian eksportir, tetapi tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi AS secara keseluruhan atau mengurangi defisit perdagangan AS yang menjadi salah satu target utama kebijakan perdagangan Trump.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]