WahanaNews.co | Thailand akan memperketat regulasi kepemilikan sabu-sabu (metamfetamin) dengan menganggap siapa pun yang terbukti menyimpan pil tersebut sebagai pengedar narkoba.
Para ahli mengatakan langkah itu dapat memundurkan reformasi narkotika karena lebih mendahulukan hukuman daripada kesehatan masyarakat.
Baca Juga:
Dua Teman Korban Siswa SMKN Semarang yang Tewas Ditembak Polisi Masih Trauma
Perubahan regulasi itu mengikuti arahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha untuk menindak obat-obatan terlarang setelah seorang mantan polisi, yang diberhentikan karena menggunakan narkoba, membunuh 37 orang, termasuk 24 anak, dengan pisau dan senjata api pada Oktober 2022.
Kementerian Kesehatan Thailand pada Kamis (2/2) mengeluarkan peraturan yang menganggap siapa pun yang kedapatan memiliki setidaknya satu pil sabu-sabu atau "yaba" sebagai pengedar narkoba, bukan sebagai pengguna.
Dengan rencana perubahan regulasi itu, orang yang terbukti menyimpan narkoba meski dalam jumlah kecil dapat dijatuhi hukuman lebih berat.
Baca Juga:
Komnas HAM Apresiasi Pemindahan Terpidana Mati Mary Jane ke Filipina
Saat ini, pengedar narkoba di Thailand diancam dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun atau dua hingga 20 tahun jika terbukti menjual kepada anak di bawah umur.
Di sisi lain, orang yang tertangkap dengan jumlah sabu-sabu lebih sedikit bisa menghindar dari hukuman penjara dengan menjalani rehabilitasi atau pengobatan.
Pada 2022, Kemenkes Thailand mengusulkan agar hanya pemilik lebih dari 15 pil metamfetamin yang dapat digolongkan sebagai pengedar.
"Perubahan peraturan menteri bertujuan untuk mengatasi masalah sosial dengan cara yang pasti dan efektif dan untuk mengekang penyebaran pil yaba," kata Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul.
Dia menambahkan aparat penegak hukum memiliki kebebasan untuk menangani kasus narkoba.
Namun, peraturan terbaru tersebut masih menunggu persetujuan kabinet.
Para ahli mengatakan pendekatan baru itu berisiko memundurkan reformasi yang mulai dilaksanakan pada 2021, ketika parlemen mengesahkan RUU yang memprioritaskan pencegahan dan pengobatan daripada hukuman bagi pengguna narkoba kecil.
Pemerintah mengatakan bahwa UU tersebut telah mengurangi hukuman penjara bagi hampir 50 ribu narapidana.
"Jika batas satu tablet ini diteruskan, penjara yang sudah sesak akan terisi tanpa henti, dan tidak akan ada ruang (lagi) untuk menahan orang-orang yang digolongkan sebagai pengedar," kata Jeremy Douglas, perwakilan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) untuk Asia Tenggara dan Pasifik.
"Negara ini dibanjiri sabu-sabu, ini bukan waktunya membalikkan reformasi narkotika," tegas Douglas.[zbr]