WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, mengubah pendekatannya terhadap konflik Rusia-Ukraina dengan menunjukkan sikap yang lebih condong ke Moskow.
Keputusan ini terlihat dari langkah pemerintahan Trump yang bersedia mengadakan lebih banyak perundingan dengan Rusia guna mengakhiri perang di Ukraina.
Baca Juga:
Pemerintah Bongkar Fakta di Balik Isu Pangkalan Militer Rusia di Papua
Pada pertengahan Februari, pejabat AS dan Rusia bertemu di Riyadh, Arab Saudi, dalam diskusi selama empat setengah jam.
Dalam pertemuan itu, Rusia menegaskan tidak akan menerima keanggotaan Ukraina di NATO.
Menariknya, Ukraina tidak diundang dalam perundingan tersebut. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bahkan menunda kunjungan ke Arab Saudi untuk menghindari kesan bahwa Kyiv memberi legitimasi pada negosiasi AS-Rusia.
Baca Juga:
Indonesia-Rusia Komitmen Perkuat Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Strategis
Kyiv menegaskan bahwa solusi perdamaian tidak bisa dibahas tanpa keikutsertaan mereka.
Trump sendiri secara terbuka menyatakan keinginannya mengembalikan Rusia ke G8, setelah negara itu dikeluarkan pada 2014 akibat aneksasi Krimea.
Menurutnya, mengecualikan Rusia dari forum negara-negara ekonomi terbesar dunia adalah kesalahan.
Namun, usulan ini sebelumnya ditolak oleh anggota G7 lainnya, sementara Rusia sendiri tampaknya tidak tertarik untuk bergabung kembali.
Dari sisi ekonomi, Rusia menghadapi tekanan berat akibat sanksi Barat, inflasi tinggi, dan suku bunga melonjak. Mantan Wakil Ketua Bank Sentral Rusia, Oleg Vyugin, menyebut bahwa Moskow kini berada dalam dilema: melanjutkan perang dengan konsekuensi ekonomi berat atau mencari solusi diplomatik untuk menghindari stagnasi ekonomi.
Trump disebut mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Rusia sebagai bagian dari strateginya untuk mempercepat negosiasi damai.
Jika kesepakatan ini tercapai, tekanan ekonomi terhadap Rusia dapat mereda, sanksi bisa dikurangi, dan perusahaan-perusahaan Barat berpotensi kembali masuk ke pasar Rusia.
Meskipun Rusia diperkirakan tidak akan langsung memangkas anggaran militernya, kemungkinan perundingan damai dengan AS bisa membantu meredakan tekanan inflasi dan membuka kembali jalur perdagangan dengan negara-negara seperti China.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]