WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana ambisius Donald Trump untuk merebut kembali pangkalan udara Bagram di Afghanistan meledakkan kontroversi dan peringatan keras dari pejabat hingga mantan pejabat pertahanan Amerika Serikat, yang menilai langkah itu nyaris mustahil dan berisiko menyeret Washington ke dalam invasi ulang berskala besar.
Dalam pernyataannya kepada wartawan saat berkunjung ke London pada Kamis (18/9/2025), Trump menekankan pentingnya posisi strategis Bagram yang pernah menjadi jantung operasi militer AS di Afghanistan sebelum ditutup pada 2021.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Udang RI Kena Radioaktif, Negosiasi Tarif Trump Terganggu?
“Kami ingin pangkalan itu kembali. Lokasinya sangat strategis, hanya satu jam dari tempat China membuat senjata nuklir,” kata Trump.
Bagram selama dua dekade perang pascaserangan 11 September 2001 menjadi pusat operasi militer AS yang nyaris menyerupai sebuah kota kecil, lengkap dengan restoran cepat saji Burger King dan Pizza Hut, toko elektronik, hingga kompleks penjara besar.
Trump bukan kali pertama melontarkan gagasan penguasaan aset strategis di luar negeri, sebelumnya ia pernah menyinggung hasrat AS untuk “memiliki” Terusan Panama hingga Greenland.
Baca Juga:
Trump Umumkan Nasib Ukraina, Tak Akan Bergabung di NATO
Fokus Trump pada Bagram menurut pengamat telah berlangsung lama, bahkan ia sempat mengisyaratkan kemungkinan adanya “persetujuan” dengan Taliban, meski bentuk kesepakatan itu tidak pernah jelas.
Namun, para pejabat pertahanan menilai rencana ini tidak realistis, dengan seorang pejabat yang enggan disebutkan namanya menegaskan bahwa operasi semacam itu akan sangat rumit.
“Tidak ada perencanaan aktif untuk merebut kembali Bagram. Upaya seperti itu akan menjadi operasi besar yang sangat rumit,” ujarnya.
Ia memperkirakan puluhan ribu tentara harus dikerahkan untuk merebut, mengamankan, dan mempertahankan wilayah sekitar pangkalan dari ancaman serangan roket.
“Bahkan setelah pasukan AS menguasai Bagram, menjaga perimeter yang luas agar tidak dimanfaatkan untuk meluncurkan serangan adalah tantangan besar. Saya tidak melihat bagaimana ini bisa terjadi secara realistis,” lanjutnya.
Ancaman terhadap pangkalan itu tidak hanya datang dari dalam Afghanistan, sebab kelompok militan seperti ISIS dan al Qaeda diperkirakan akan kembali menargetkan kehadiran militer AS, sementara risiko serangan rudal dari Iran juga nyata setelah Teheran pernah menghantam pangkalan besar AS di Qatar pada Juni lalu sebagai balasan atas serangan ke fasilitas nuklirnya.
Seorang mantan pejabat senior pertahanan AS bahkan meragukan nilai strategis Bagram, dengan mengatakan, “Saya tidak melihat keuntungan militer signifikan berada di sana. Risiko jauh lebih besar daripada manfaat.”
Trump juga menjadikan isu Bagram sebagai amunisi politik dengan menyalahkan Presiden Joe Biden karena disebutnya telah “menyerahkan” pangkalan itu, meski faktanya perjanjian yang ditandatangani Trump dengan Taliban pada Februari 2020 sudah mengharuskan penarikan seluruh pasukan internasional dari Afghanistan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]