WahanaNews.co | Upaya pemimpin Partai Move Forward (MFP) Thailand, Pita Limjaroenrat, untuk menduduki kursi Perdana Menteri Thailand belum berakhir. Pertarungan Pita menuju kursi PM negeri Gajah Putih itu masuk babak akhir.
Dilansir DW, Rabu (19/07/23), Pita memiliki kesempatan terakhir untuk mengukuhkan dirinya sebagai Perdana Menteri Thailand di putaran kedua setelah parlemen menolaknya pada pemungutan suara putaran pertama minggu lalu.
Baca Juga:
Petinggi Negara Terburon di ICC: Daftar yang Mengejutkan dan Kontroversial
Namun, upaya Pita Limjaroenrat untuk maju sebagai Perdana Menteri Thailand terjegal. Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan kandidat PM Pita Limjaroenrat dari tugas parlementernya dengan tuduhan kejahatan Pemilu.
Dengan suara terbanyak, pengadilan mengatakan akan mempertimbangkan petisi Panitia Pemilihan yang akan mendiskualifikasi status Pita sebagai anggota parlemen. Sementara itu, badan peradilan mengatakan Pita 'harus menangguhkan perannya mulai 19 Juli, hingga keputusan Mahkamah Konstitusi'.
Pemimpin Partai Move Forward Pita Limjaroenrat, yang secara mengejutkan meraih posisi pertama dalam pemilihan umum bulan Mei lalu, gagal mendapatkan dukungan dari para senat, di mana para anggota parlemen menegaskan mereka tidak akan memilih Pita karena kampanye partainya.
Baca Juga:
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong Resmi Mundur, Transisi Kekuasaan Dimulai
Sebagai informasi, partai yang dipimpin Pita berkampanye dengan janji untuk mengubah undang-undang mengenai penghinaan atau ancaman bagi kerajaan Thailand, yang dianggap sebagai tindakan ilegal.
Para kritikus mengatakan undang-undang tersebut, yang memiliki ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara, disalahgunakan sebagai senjata politik.
Anggota Senat di bawah pemerintah junta militer bersama dengan pengadilan tinggi Thailand, merupakan benteng pertahanan terkuat kaum konservatif kerajaan Thailand terhadap suatu perubahan.
Agenda MFP yang sukses menarik perhatian para pemilih muda, juga berjanji mengupayakan reformasi, untuk mengurangi pengaruh militer dalam dunia politik Thailand.
Sejauh ini, pemerintah militer telah melakukan selusin kudeta sejak Thailand menjadi negara monarki konstitusional pada tahun 1932 silam. Militer Thailand juga melakukan monopoli bisnis besar-besaran
Kini, Pita membutuhkan lebih banyak suara. Pada Senin (17/07), Pita mengatakan bahwa dia akan mencoba kembali mencalonkan diri sebagai PM Thailand di putaran kedua.
Namun, dia menyatakan kalau dirinya akan mengizinkan seorang kandidat dari partai koalisinya untuk mencalonkan diri jika dirinya kembali gagal mengumpulkan suara dukungan. Calon lain yang dimaksud Pita itu kemungkinan besar berasal dari partai Pheu Thai.
Partai tersebut meraup 141 kursi dalam pemilu, yakni 10 kursi lebih sedikit dari 151 kursi yang diraih MFP pimpinan Pita. Koalisi delapan partai tersebut berhasil mengumpulkan total 312 kursi di DPR Thailand, dengan mayoritas anggota parlemen terpilih.
Meski demikian, perdana menteri baru Thailand membutuhkan setengah dari pemungutan suara gabungan dari total 740 anggota parlemen dan senat. Koalisi delapan partai tersebut hanya mampu mengumpulkan 324 suara minggu lalu, jauh di bawah minimal 376 suara yang dibutuhkan.
Pita adalah satu-satunya kandidat MFP, sementara Pheu Thai mendaftarkan tiga nama, yakni Srettha Thavisin; Paetongtarn Shinawatra, putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh kudeta militer tahun 2006; dan Chaikasem Nitsiri, seorang ahli strategi utama partai.
Paetongtarn disebut-sebut sebagai prospek utama partai Pheu Thai selama kampanye pemilu kemarin. Tetapi, Srettha justru muncul sebagai kandidat favorit.
Srettha baru terjun secara aktif ke dunia politik tahun lalu. Nilai jual terkuat Srettha, yakni ketajaman bisnis dan pengalamannya.
Jika Pita atau kandidat dari Pheu Thai tidak mampu memenangkan suara parlemen, maka akan ada tekanan untuk membentuk koalisi baru, dengan menambahkan mitra yang kurang liberal.
Hal itu berarti koalisi baru akan menjatuhkan MFP yang dipandang sebagai batu sandungan, karena posisi proposal reformasi MFP untuk kerajaan.
Sementara, MFP telah bertekad untuk tidak mendukung pemerintahan dengan partai-partai yang tercemar oleh hubungan sembilan tahun dukungan militer. MFP kemungkinan akan lebih nyaman menjadi oposisi.
"Saya pikir mereka (MFP) lebih bersedia untuk keluar dari posisi mereka sendiri dan menghormati apa yang telah mereka umumkan kepada para pemilih dalam kampanye prapemilu," ujar seorang profesor di Universitas Ubon Ratchathani, Saowanee T Alexander.
Profesor Saowanee juga mengatakan dia masih berharap namun pesimis, karena isu reformasi monarki 'membuat politik ke depan menjadi sangat sulit'.
Berita kemungkinan gagalnya Pita untuk menjabat sebagai PM baru Thailand telah membuat gusar para pendukungnya dan para aktivis prodemokrasi di Thailand, di mana mereka telah menyerukan aksi demonstrasi.[sdy/detik]