Namun, banyak varian baru justru dapat bermutasi pada gen spike mereka. Hal itu tentunya sangat memungkinkan mereka menghindari antibodi dalam tubuh kita yang dihasilkan melawan serangan. Tentunya, Diamond dan tim menulis, bisa merusak efektivitas perawatan terapi yang berbasis antibodi.
Dalam eksperimennya, mereka menemukan dua antibodi yang mampu menetralkan semua varian, yakni antibodi SARS2-38. Antibodi ini dapat melindungi dari penyakit yang disebabkan oleh dua varian: kappa dan virus yang mengandung spike protein dari varian beta, terang Diamond dan tim.
Baca Juga:
Banyak Warga Israel Masuk RS, Ini Fakta-fakta Serangan Virus Mematikan West Nile
Varian beta sendiri terkenal resisten terhadap antibodi, sehingga ketidakmampuannya untuk melawan SARS2-38 adalah hal yang sangat luar biasa, tulis para peneliti.
Eksperimen itu dilakukan para peneliti dengan mengimunisasi tikus pada bagian penting dari protein spike virus yang dikenal sebagai domain pengikat reseptor. Sementara di sisi lain, mereka juga mengekstrak sel penghasil antibodi, dan mendapatkan 43 antibodi dari sel yang mengenali domain pengikat reseptor.
43 antibodi ini disaring para peneliti dengan mengukur seberapa baik mereka mencegah varian asli SARS-CoV-2 yang menginfeksi tubuh. Ada sembilan antibodi penetral yang paling kuat, kemudian diuji kepada tikus untuk diketahui seberapa kuat antibodi itu melindungi hewan terinfeksi virus dari penyakit.
Baca Juga:
Demam Lassa Menyebabkan 156 Kematian di Nigeria dalam Empat Bulan Terakhir
Beberapa di antaranya, lulus di dua pengujian sebelumnya dengan berbagai tingkat potensi. Dua dari antibodi yang sebelumnya dipaparkan di atas adalah bagian dari yang lulus ini. Keduanya yang paling kuat melindungi tikus dari penyakit, dan berhasil diuji pula dari varian virus lainnya.
Melalui eksperimen yang lebih lanjut, para peneliti menunjukkan tempat yang tepat pada protein spike yang bisa dikenali oleh antibodi. Mereka juga mengidentifikasi dua mutasi di tempat itu yang pada semestinya dapat mencegah antibodi kita bekerja.
Masalahnya, mutasi ini semakin langka di dunia nyata. Para peneliti harus mencari database sekitar 800.000 urutan SARS-CoV-2 dan menemukan mutasi yang langka itu hanya 0,04 persen dari data yang ada.