Di Indonesia, katanya, sejak 2019 BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat adalah 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen Air Minum Dalam Kemasan yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Kendati, Aisyah menyebut di level global ada tren pengetatan toleransi atas BPA pada kemasan pangan.
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
Dia mencontohkan Uni Eropa kini menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011.
Sekaitan itu pula, otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, merevisi batas asupan harian (Total Daily Intake) BPA dari awalnya, pada 2015, sebesar mikrogram/kilogram berat badan menjadi 0,2 nanogram/kilogram berat badan pada April 2023.
"Ini berarti ada pengetatan 20.000 kali lebih rendah, toleransi asupannya jadi lebih ketat. Ini juga salah satu alasan BPOM mengkaji kembali regulasi yang ada terkait BPA," ujarnya.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
Menurut Aisyah, rencana pelabelan risiko BPA juga berlatar hasil pengawasan yang menunjukkan migrasi BPA pada galon bermerek yang beredar di sejumlah kota.
"Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm," jelasnya.
Aisyah bilang BPOM telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA.