WahanaNews.co | Kepala Biro (Kabiro) Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan untuk mencapai generasi emas dengan SDM yang unggul, seorang ibu yang hebat harus menyiapkan pertumbuhan anak-anak mulai dari sekarang.
Saat ini prevalensi stunting masih 21,6 persen. Itu artinya ada sekitar 2,5 juta anak Indonesia yang setiap tahunnya mengalami stunting.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Bayangkan kalau 2,5 juta tiap tahun anak stunting tidak kita selamatkan, maka di tahun 2030 berapa banyak anak Indonesia atau generasi Indonesia yang mengalami stunting.
“Sekarang 2024. 2,5 juta anak kali 6 tahun berarti ada 15 juta anak Indonesia akan mengalami stunting yang akan menjadi tenaga kerja yang tidak produktif alias tetap menjadi pekerja buruh. Kita kan nggk mau Indonesia mau keadaan seperti itu,” ujar dr Nadia saat menjadi pemateri dalam Seminar Pencegahan Stunting yang digelar oleh Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) Jakarta Barat di Ruangan Ali Sadikin, Wali Kota Jakarta Barat, Senin (23/4/2024).
Untuk mencegah hal ini, Nadia pertama-tama memastikan agar para ibu yang memiliki anak gadis atau perempuan remaja tidak akan mengalami anemia atau kekurangan darah.
Baca Juga:
Kemenkes: Dampak Pestisida Sistemik pada Anggur Muscat Bisa Bertahan Meski Dicuci
“Caranya minum tablet penambah darah. Kalau dia hamil minum tablet penambah darah. Kalau kurang berat badannya harus diberikan tambahan protein,” sarannya.
Kemudian, jika anak perempuan tadi sudah melahirkan, bayinya diberikan ASI. Jika usia bayi di atas 6 bulan, makanan ASI tidak cukup lagi karena itu ibu harus memberikan makanan tambahan yang bukan mie instan.
Nadia menyampaikan bahwa anak yang banyak mengalami stunting itu berada pada usia di atas 6 bulan hingga usia 2 tahun.
“Anak yang paling banyak mengalami stunting atau secara tinggi badan kurang, secara IQ kurang ternyata di usia di atas 6 tahun. Anak sampai usia 6 bulan jarang mengalami stunting karena ada makanan terbaiknya ASI. Namun setelah usia itu, anak harus diberi makanan tambahan,” jelasnya.
Nadia juga mengingatkan agar seorang ibu selalu memeriksakan secara rutin pertumbuhan anak dengan cara membawa ke posyandu untuk mengetahui berat badan dan tinggi badan anak.
Pada seminar itu, dr. Nadia juga menyampaikan bahwa stunting sebenarnya merupakan permasalahan gizi kronik atau yang sudah lama dan terus-menerus. Bukan tiba-tiba anak hari ini jadi stunting.
“Akibat kekurangan gizi yang kadang tercukupi, kadang kurang, kadang cukup. Nah lama-lama anak adi stunting. Akhirnya setelah dewasa, pertumbuhannya tidak sesuai dengan harapan orang tua,” ungkap Nadia.
Nah, sebagai kader Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dr Nadia berpesan jika menemukan balita atau anak dengan status pertumbuhan naik yakni memberikan pujian kepada ibu yang telah membawa balitanya ke posyandu dan sampaikan bahwa kenaikan berat badan balita merupakan keberhasilan ibu mengasuh balita.
“Berikan umpan balik untuk mempertahankan kondisi balita dan nasehat tentang pemberian makan sesuai rekomendasi menurut usianya. Lalu anjurkan untuk datang kembali pada penimbangan berikutnya,” tambahnya.
Sebaliknya jika menemukan balita dengan status pertumbuhan tidak naik dan di bawah garis merah yaitu menanyakan dan mencatat keadaan balita bila ada keluhan seperti batuk, diare, panas, rewel, dan lain sebagainya, termasuk kebiasaan makan balita dan hal lainnya seperti faktor lingkungan dan sosial.
Kepada ibu pemilik balita, seorang kader PKK juga harus memberikan penjelasan tentang kemungkinan penyebab berat badan tidak naik tanpa menyalahkan ibunya.
Lalu segera laporkan ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan rujukan ke puskesmas atau fasilitas kesehatan.
Dan tetap berikan pujian, umpan balik tentang pemberian makan dan anjuran agar datang kembali pada penimbangan berikutnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]