WahanaNews.co | Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sudah ada lebih 200 kasus cacar monyet yang dilaporkan oleh 20 negara non endemik.
Kabar baiknya, menurut WHO, penyakit ini masih bisa dikendalikan dan mengusulkan tiap negara untuk menyediakan stok vaksin serta obat-obatan.
Baca Juga:
Bahayakan Kesehatan, BPKN: Waspadai AMDK dengan Bromat Melebihi Batas Aman
Berdasarkan laporan para dokter di Inggris, Spanyol, Portugal, Kanada, dan Amerika Serikat, penyakit ini banyak menyerang kelompok gay dan biseksual yang melakukan hubungan seks. Mereka juga memperingatkan virus ini dapat dengan mudah menyebar jika tidak segera dihentikan.
Direktur Pandemi dan Penyakit Epidemik WHO, dr Sylvie Briand mengatakan, wabah penyakit cacar monyet di masa lalu, telah berevolusi. Namun yang menjadi kekhawatirannya, mungkin ada banyak kasus cacar monyet yang belum terdeteksi.
"Kami tidak tahu apakah saat ini kami hanya melihat puncak gunung es saja. Mungkin ada lebih banyak kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat," kata dr Sylvie, dilansir detikcom, Sabtu (28/5/2022).
Baca Juga:
Penyakit Mpox Jadi Darurat Kesehatan Global, Kenali Cara Penularannya
Dugaan Penyebab Munculnya Wabah Cacar Monyet
Dalam konferensi pers WHO yang dilangsungkan pada Jumat (27/5), WHO mengatakan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai pemicu wabah cacar monyet di negara non endemik. Tetapi, mereka memiliki sebuah dugaan.
"Pengurutan pertama virus menunjukkan bahwa jenisnya tidak berbeda dari jenis yang kita temukan di negara-negara endemik dan (wabah ini) mungkin lebih disebabkan adanya perubahan perilaku manusia," ujar dr Sylvie.
Meski penyakit ini sudah menyebar luas di beberapa negara, kepala departemen cacar WHO dr Rosamund Lewis mengatakan bahwa, saat ini dunia tidak memerlukan vaksinasi massal layaknya vaksin Covid-19.
Disebutkan bahwa cacar monyet tidak mudah menyebar dan umumnya, menular melalui kontak langsung atau antar kulit.
Hal serupa juga diutarakan kepala kedaruratan WHO dr Mike Ryan. Ia mengimbau agar tiap negara menyediakan pasokan vaksin dan mempersiapkan penanganan bagi mereka yang beresiko tinggi terkena penyakit.
"Kita berbicara tentang penyediaan vaksin. Volumenya tidak harus besar, tetapi tiap negara perlu memiliki akses untuk penyediaan vaksin," ujar dr Ryan. [JP]