WahanaNews.co | Untuk memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas, layak dan aman untuk dikonsumsi masih menjadi sebuah tantangan berat di Indonesia.
Belum lama ini, berdasarkan Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAM-RT) di Indonesia yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2020, 7 dari 10 rumah tangga mengonsumsi air dari infrastruktur yang tercemar E. coli, dan hanya 11,9 persen rumah tangga memiliki akses ke air minum yang aman.
Baca Juga:
Studi Ungkap Alasan Konsumen Indonesia Kepincut dengan Mobil China
Data yang sama mengungkap bahwa orang Indonesia paling banyak mengonsumsi air minum isi ulang dengan persentase 31,1 persen.
Kemudian dari sumur yang terlindungi sebanyak 16 persen, sumur pompa 14,1 persen, air keran 13,1 persen dan air kemasan 11 persen.
Namun, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, 10 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki Water Quality Index yang buruk karena berbagai cemaran.
Baca Juga:
Mau Terlihat Awet Muda? Coba 5 Jenis Olahraga Ini
Demikian paparan Vera Galuh Sugijanto, VP General Secretary for Danone Indonesia dalam acara Editor's Gathering Aqua 'Tidak Semua Air Sama' di Raffles Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Kata Vera, banyak konsumen yang kurang mendapatkan informasi tentang air minum yang aman dan tanpa sadar memilih air minum yang mengandung bahaya tersembunyi dan berdampak pada kesehatan jangka panjang.
Kemudian, Profesor di bidang Mikrobiologi Pangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Prof. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi pada kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa air minum adalah air yang aman untuk langsung diminum, termasuk juga air mineral alami dan air yang dibotolkan, baik yang berkarbonasi atau tidak.
"Air minum harus dapat diterima secara estetika: bebas kekeruhan, rasa, bau dan warna yang tidak disukai, tidak sadah dan aman: tidak mengandung mineral terlarut (Fe, Mn) atau mikrob pathogen (bakteri, virus) dalam jumlah yang tidak diinginkan yang dapat berisiko pada kesehatan," kata Profesor Ratih itu.
Profesor yang juga peneliti senior di Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM, IPB itu menjelaskan, polutan atau cemaran dalam air kebanyakan merupakan cemaran kimiawi, biologis dan fisik yang tidak dapat dideteksi oleh panca indera manusia.
Cemaran-cemaran ini berisiko membahayakan kesehatan apabila jumlahnya melebihi ambang batas tertentu.
Contoh cemaran kimiawi seperti logam berat, senyawa organik sintetis, senyawa anorganik/mineral dan residu kegiatan pertanian.
Sementara biologis antara lain bakteri patogen, virus dan protozoa. Ada pula radioactive compounds dan cemaran fisik seperti padatan (sedimen, tersuspensi) dan oxygen demanding waste.
"Di Indonesia, akses untuk mendapatkan air minum bermutu dan aman masih terbatas. Cemaran dalam air minum dapat menyebabkan risiko penyakit waterborne, utamanya diare," ungkap Prof Ratih.
Ia juga menambahkan, pemeliharaan sumber air, tahapan untuk menghilangkan cemaran kimiawi (misalnya membrane filtrazion) dan mikrob patogen (disinfection), serta penanganan pasca pengolahan adalah tahap kritis dalam pengolahan air minum.
Tak hanya itu, kajian terbatas di Indonesia juga menunjukkan bahwa beberapa air minum isi ulang mengandung mikrob indicator (coliform dan/atau Escherichia coli atau E. coli).
[Redaktur: Zahara Sitio]