"Air minum harus dapat diterima secara estetika: bebas kekeruhan, rasa, bau dan warna yang tidak disukai, tidak sadah dan aman: tidak mengandung mineral terlarut (Fe, Mn) atau mikrob pathogen (bakteri, virus) dalam jumlah yang tidak diinginkan yang dapat berisiko pada kesehatan," kata Profesor Ratih itu.
Profesor yang juga peneliti senior di Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM, IPB itu menjelaskan, polutan atau cemaran dalam air kebanyakan merupakan cemaran kimiawi, biologis dan fisik yang tidak dapat dideteksi oleh panca indera manusia.
Baca Juga:
Studi Ungkap Alasan Konsumen Indonesia Kepincut dengan Mobil China
Cemaran-cemaran ini berisiko membahayakan kesehatan apabila jumlahnya melebihi ambang batas tertentu.
Contoh cemaran kimiawi seperti logam berat, senyawa organik sintetis, senyawa anorganik/mineral dan residu kegiatan pertanian.
Sementara biologis antara lain bakteri patogen, virus dan protozoa. Ada pula radioactive compounds dan cemaran fisik seperti padatan (sedimen, tersuspensi) dan oxygen demanding waste.
Baca Juga:
Mau Terlihat Awet Muda? Coba 5 Jenis Olahraga Ini
"Di Indonesia, akses untuk mendapatkan air minum bermutu dan aman masih terbatas. Cemaran dalam air minum dapat menyebabkan risiko penyakit waterborne, utamanya diare," ungkap Prof Ratih.
Ia juga menambahkan, pemeliharaan sumber air, tahapan untuk menghilangkan cemaran kimiawi (misalnya membrane filtrazion) dan mikrob patogen (disinfection), serta penanganan pasca pengolahan adalah tahap kritis dalam pengolahan air minum.
Tak hanya itu, kajian terbatas di Indonesia juga menunjukkan bahwa beberapa air minum isi ulang mengandung mikrob indicator (coliform dan/atau Escherichia coli atau E. coli).