WahanaNews.co | Merokok merupakan kebiasaan yang bukan hanya berdampak buruk pada diri sendiri, tetapi juga buat orang lain.
Bahkan, kebiasaan buruk ini juga berpotensi menyebabkan stunting.
Baca Juga:
Kesulitan Berhenti Merokok? Konsultasi Psikiater dan Ahli Kesehatan Jiwa di Klinik
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, dr. Endang Sumiwi.
Fakta ini disampaikannya berdasarkan penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2018. Ya, penelitian tersebut menemukan bahwa balita yang tinggal dengan orang tua perokok tumbuh 1,5 kg lebih kurang dari anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok.
Dalam penelitian tersebut juga disebutkan 5,5 persen balita yang tinggal dengan orang tua perokok punya risiko lebih tinggi menjadi stunting.
Baca Juga:
3 Cara Berhenti Merokok di Momen Ramadan
"Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20%, sementara Indonesia masih 21%," jelas dr. Endang dalam laman Sehat Negeriku, Kementerian Kesehatan, Kamis (8/6/2023).
"Kalau Balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting," sambungnya.
Dia juga memaparkan bahwa menurut data dari Global Adult Tobacco Survey, dalam sebulan masyarakat mengeluarkan uang untuk membeli rokok sebesar Rp382 ribu.
Padahal, kata dia, uang senilai itu bisa dialihkan buat beli protein hewani yang sangat dibutuhkan anak-anak untuk tumbuh dan terhindar dari stunting.
"Kalau mau berkontribusi untuk stunting, para orang tua tidak usah merokok, dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani seperti telur," ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Maxi Rein Rondonuwu menambahkan konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan kesehatan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) 2021 menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.
"Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga, dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur," jelas dr. Maxi.
Penelitian juga pernah dilakukan Rumah Sakit Persahabatan kepada tiga kelompok bayi yang dilahirkan dari ibu yang tidak merokok, perokok pasif, dan perokok aktif.
Dari penelitian tersebut, perwakilan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Feni Fitriani Taufik menjelaskan bahwa hasilnya plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin.
Kemudian, ketika lahir, panjang dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek ketimbang bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
"Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi," terang dr. Feni.
Dia juga menjelaskan bahwa ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan perokok, kemudian dihirup orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat tapi berbahaya, bukan hanya asap tapi residu dari orang yang merokok yang menempel terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.
"Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak balita," tutup dr. Feni.
[Redaktur: Zahara Sitio]