WahanaNews.co, Jakarta – Pemerintah berencana menerbitkan peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan No 17/2023 yang akan mengatur pengendalian dan sejumlah larangan terkait produk tembakau dan rokok elektrik.
Produk hukum itu berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang draf rancangannya sedang dalam penyusunan dan pembahasan (RPP Kesehatan).
Baca Juga:
Pencuri Rokok Dalam Mobil Box Ditangkap Sat Reskrim Polres Sibolga
Ekonom memperingatkan pemerintah efek dari rencana mengatur lebih ketat pengendalian dan pelarangan produk tembakau dan rokok elektrik dengan regulasi baru.
Sebab, dikhawatirkan bakal memicu kerugian bagi negara dan justru akan memicu munculkan aksi tak bertanggung jawab.
Sejumlah pembatasan diperkirakan bakal berdampak besar terhadap banyak sektor mulai dari industri kreatif, periklanan, media digital, hingga petani dan diprediksi akan memicu kerugian hingga triliunan rupiah.
Baca Juga:
WHO: Rokok Lebih Mematikan Dibanding Kombinasi AIDS dan Malaria
Untuk itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memberikan beberapa catatan terkait pengamanan zat adiktif pada RPP Kesehatan.
Menurut Tauhid, RPP Kesehatan tersebut filosofinya bukan untuk mengendalikan, melainkan melarang sama sekali keberadaan industri rokok.
"Jelas RPP (Kesehatan) tersebut perspektifnya hanya kesehatan, tanpa mempertimbangkan petani tembakau, pekerja industri, pendapatan cukai negara serta ekonomi secara umum," kata Tauhid seperti dilansir dari CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023).
Beberapa hal yang prinsipnya melarang, menurutnya, tentu akan bertentangan dengan pengendalian dari sisi harga agar tidak bisa dijangkau oleh golongan masyarakat dan umur tertentu.
"Misalnya dilarang mencantumkan harga jual. Jelas ini akan bertentangan dengan pengendalian dari sisi harga, disamping tentunya transparansi dalam pengenaan cukai yang dikenakan ke masyarakat," ujarnya.
Tauhid juga menyinggung dalam pasal 449 RPP Kesehatan memuat larangan mengiklankan produk tembakau di media luar ruang, situs, dan/atau aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau.
"Berarti jualan offline dan online dilarang sama sekali," tuturnya.
Adapun efek dominonya, menurut Tauhid, akan menyebabkan anjloknya produksi dan berkurangnya penyerapan tembakau dari petani. Petani jadi tidak bisa menjual tembakaunya, kemudian pabrik juga akan melakukan efisiensi dengan melakukan pengurangan tenaga kerja.
"Mereka akan bekerja dimana? Karena tidak mudah dan sulit mengalihkan ke produk tanaman lain. Pemerintah sudah berusaha ke tanaman lain namun banyak gagalnya. Plus buruh industri akan kerja dimana? karena RPP ini tidak memikirkan way out atas larangan tersebut," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, jika pemerintah tetap bersikukuh menerbitkan RPP Kesehatan, justru akan membuka semakin tinggi peluang rokok ilegal akan semakin tinggi, karena pelarangan itu akan memunculkan oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi tersebut.
"Artinya, kesehatan juga terganggu dan negara juga dirugikan," ucap Tauhid.
Oleh sebab itu, Tauhid menilai pemerintah perlu me-review secara mendalam dan menunda terlebih dahulu penerbitan dari RPP tersebut. Mengingat akan merugikan dari sisi keuangan negara, petani, tenaga kerja, industri, maupun sektor-sektor lainnya.
"RPP tersebut harus dibuka untuk publik terlibat secara luas, mengingat hajat hidup orang banyak sangat tergantung kepada RPP tersebut. Termasuk yang penting antisipasi dampaknya mengingat sektor lain yang terkena getahnya dari adanya RPP tersebut. Misalnya kalau banyak PHK terjadi, bagaimana Kementerian Ketenagakerjaan merespons adanya pengangguran baru. Termasuk apabila cukai berkurang bagaimana antisipasinya," pungkasnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]