WAHANANEWS.CO, Jakarta - Resistensi antimikroba (AMR) kini menjelma jadi salah satu penyebab utama kematian secara global, bahkan menewaskan lebih banyak orang setiap tahunnya dibandingkan HIV/AIDS dan malaria.
Saat ini, jumlah kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun, dan angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 10 juta kematian per tahun pada 2050.
Baca Juga:
Babak Baru Kasus Penembakan Bos Rental Mobil, 3 Prajurit TNI Mengaku Dikeroyok
Sebagian besar kasus diperkirakan terjadi di Asia, dengan 4,7 juta kematian, diikuti oleh Afrika dengan 4,1 juta kematian, sementara sisanya tersebar di Australia, Eropa, dan Amerika.
AMR terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan sehingga mereka tidak lagi merespons obat-obatan yang sebelumnya efektif.
Akibatnya, infeksi menjadi semakin sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah kondisi pasien, hingga menyebabkan kematian.
Baca Juga:
Kasus PAW Kian Panas, KPK Bongkar Bukti Baru di Rumah Hasto Kristiyanto
Hal ini menimbulkan ancaman kesehatan global yang serius dan memperumit upaya pencegahan maupun pengobatan.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet mengungkapkan bahwa resistensi antimikroba kini telah menjadi salah satu pembunuh terbesar di dunia.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa tanpa tindakan cepat, situasi dapat semakin memburuk. Dalam laporan tersebut, ditekankan bahwa kematian akibat AMR akan meningkat drastis apabila tidak ada langkah pengendalian yang segera diambil.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins, menyebutkan bahwa AMR adalah ancaman seperti bom waktu yang akan membawa bencana jika dunia tidak segera bertindak.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyebab utama resistensi antimikroba di sektor kesehatan antara lain penggunaan obat tanpa indikasi yang tepat, pemilihan obat yang tidak sesuai, serta dosis yang tidak benar.
Selain itu, dengan meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional, mikroorganisme resisten dapat menyebar lebih cepat, membuat tidak ada negara yang benar-benar aman dari ancaman ini.
Bahaya resistensi antimikroba juga erat kaitannya dengan berbagai sektor, termasuk kesehatan masyarakat, rantai makanan, peternakan, dan lingkungan.
Dalam konteks ini, kerja sama global menjadi krusial untuk mengendalikan ancaman tersebut.
Inggris, misalnya, telah menjadikan penanganan AMR sebagai prioritas kesehatan global dengan mengalokasikan Rp 5,1 triliun melalui Dana Fleming untuk mendukung berbagai program, termasuk di Indonesia.
Meskipun sejumlah negara telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional untuk mengatasi resistensi antimikroba, banyak tantangan yang dihadapi, seperti kurangnya penegakan regulasi, kekurangan ahli epidemiologi, serta lemahnya implementasi kebijakan.
Di Asia Tenggara, laporan The Lancet mencatat tingkat AMR yang sangat tinggi, dengan patogen utama seperti E. coli (17.700 kematian), K. pneumonia (15.200 kematian), A. baumannii (13.700 kematian), S. aureus (13.000 kematian), dan S. pneumoniae (8.070 kematian) pada tahun 2019.
Resistensi ini tidak hanya membahayakan pasien tetapi juga mengancam sistem kesehatan secara keseluruhan. Prosedur medis yang selama ini dianggap rutin, seperti operasi, persalinan, atau pengobatan kanker, menjadi lebih berisiko karena potensi infeksi yang tidak dapat diobati.
Situasi ini diperparah oleh meningkatnya penggunaan antibiotik selama pandemi COVID-19, yang berkontribusi pada lonjakan resistensi antimikroba.
Profesor Chris Murray, Direktur Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan, menyatakan bahwa meskipun inovasi dalam pengembangan obat dan vaksin telah berlangsung, kemajuan tersebut belum cukup cepat untuk mengatasi ancaman AMR.
Sebagai contoh, hanya terdapat 15 antibiotik baru yang disetujui antara tahun 2000 hingga 2018, jauh lebih sedikit dibandingkan periode 1980-2000 yang mencapai 63 antibiotik baru.
Dari tujuh bakteri resisten obat yang paling mematikan, hanya Streptococcus pneumoniae dan Mycobacterium tuberculosis yang memiliki vaksin.
Dalam pandangannya, dunia harus segera memanfaatkan data dan estimasi yang ada untuk mendorong inovasi, mengembangkan vaksin serta terapi baru, dan memperbaiki kebijakan agar ancaman resistensi antimikroba dapat dikendalikan sebelum menyebabkan kematian yang lebih besar di masa depan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]