WahanaNews.co | Epidemiolog
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono menyebutkan,
sebetulnya pemerintah sebenarnya bisa saja menekan harga tes polymerase chain
reaction atau PCR, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat luas.
"Makanya lebih baik kita fokusnya pada tes antigen saja
daripada PCR yang harganya jauh lebih mahal. Hal ini dikarenakan Indonesia
belum mampu memproduksinya secara besar di dalam negeri, sehingga menjadi lebih
mahal dan tergantung barang dari luar negeri," katanya, Jumat (13/8/2021).
Baca Juga:
Kemenkes Katakan Kasus Kematian Akibat Virus Corona di Indonesia Kembali Meningkat
Situasi ini berbeda halnya dengan negara India yang sudah
bisa memproduksi sendiri mesin dan alat PCR, termasuk obat-obatan, sehingga
harga tesnya jauh lebih murah. Sementara di Indonesia memang juga sudah membuat
teknologi PCR, namun hanya untuk skala kecil dan itu tidak cukup, apalagi
pabrik dan laboratoriumnya masih terbatas.
Di sisi lain, manufakturnya juga tidak diberikan insentif
saat harus memproduksi sebanyak-banyaknya, karena bersaing dengan impor. Kalau
impornya di pajak dengan harga yang kompetitif, bisa menjadi lebih murah
sehingga manufaktur pun masih bisa mengambil keuntungan.
"Jadi itu adalah kebijakan dari Kementerian
Perindustrian, alat kesehatan (alkes) kita impor. Tapi kalau harganya tidak
kompetitif, maka orang akan lebih suka beli dari luar karena harga yang jauh
lebih murah dan mereka bisa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya,"
ungkap Pandu.
Baca Juga:
Menteri Kesehatan akan Buat Aturan Test PCR Bisa di Apotek
Soal insentif, industri manufaktur dalam negeri Indonesia
sebenarnya sudah bisa, pabrik antigen dari Korea sudah ada, harganya diterapkan
hanya Rp 100.000, PCR juga sudah ada, Bio Farma juga sudah membuat dan industri
lainnya juga harus didorong supaya mau dibuat dan harga impor jauh lebih mahal.
Sehingga akhirnya dengan kualitas yang sama, orang-orang
akan membeli produk dalam negeri, apalagi kalau mungkin akan disubsidi
pemerintah, misalnya produk dalam negeri tidak perlu pakai pajak.
Jadi melihatnya dari isu yang lebih besar karena harus
membangun sistem. Kalau responsnya tambal sulam, itu tidak akan lama, padahal
pandemi Covid-19 ini masih lama karena harus hidup berdampingan dengan Covid
selama 5-6 tahun mendatang. Tes teknologi PCR dan antigen masih tetap akan
dipakai.
"Kalau kita cepat dari sekarang untuk meningkatkan
akselerasi produk dalam negeri, kita menciptakan ketidaktergantungan, maka bisa
menekan harga untuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia,"
tegasnya.
"Jadi bisa saja harga PCR ditekan sekitar Rp 400.000
hingga Rp 500.000 dan itu bukan tergantung pada reagan-nya, tetapi juga
mesinnya. Jadi kebanyakan mesin PCR untuk Indonesia ini kecil-kecil karena
memang tidak dipersiapkan untuk pandemi," katanya.
Berbeda halnya kalau mesin PCR-nya besar semua dan otomatis,
seperti yang dimiliki oleh laboratorium kesehatan daerah Jawa Barat, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas yang dibeli saat awal pandemi, sehingga memakai
teknologi terbaru semuanya otomatis yang kapasitasnya bisa besar.
Jadi sekali jalan besar itu bisa menurunkan processing cost.
Begitu juga dengan reagan yang sebagian besar sudah dibuat industrinya di
Indonesia. Waktu awal pandemi, Indonesia banyak menerima sumbangan mesin PCR,
tetapi karena dari pihak Kementerian Kesehatan tidak ada yang mengurus,
akhirnya diambil alih oleh semua layanan BUMN. Sebagai perusahaan pelat merah
seharusnya bisa menekan harga, apalagi kalau mesinnya gratis.
"PR pemerintah saat ini adalah siapkan dan ganti
beberapa mesin PCR yang kapasitasnya out of date. Masa iya untuk pelayanan
kesehatan di masa pandemi gini, hanya mampu proses sehari 100 tes saja.
Seharusnya bisa mencapai ratusan ribu. Berbeda halnya kalau yang dimiliki
universitas yang lebih sedikit," saran Pandu.
Pandu menambahkan, jadi harga ideal PCR bisa ditekan dengan
menekan harga reagan, harga processing cost, berikan insentif yang lebih besar
untuk membuka tempat-tempat layanan di daerah yang belum ada. Sementara untuk
tingkat kecepatan hasilnya bila menggunakan mesin besar itu empat jam bisa
selesai dengan sistem otomatis. "Tentu ini berbeda bila dengan
manual," katanya. [dhn]