WAHANANEWS.CO, Jakarta - Studi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan pola makan anak dan remaja di Indonesia masih jauh dari prinsip gizi seimbang. Seperti apa temuannya?
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi,BRIN, RikaRachmalina menyampaikan data bahwa sembilan dari sepuluh anak berusia 5-19 tahun mengonsumsi buah dan sayur kurang dari lima porsi per hari. Sementara itu, sebagian remaja bahkan tidak mengonsumsi buah, sayur, atau sumber protein sama sekali dalam seminggu.
Baca Juga:
Dokter Ini Bagi Tips Umur Panjang: Usianya 101 Tahun Ungkap Makanan Praktis Favoritnya
"Di sisi lain, konsumsi makanan manis, asin, dan berlemak justru tinggi. Sekitar lima dari sepuluh anak mengonsumsi minuman manis setiap hari," ujar Rika dalam laman BRIN dikutip Rabu (29/10/2025).
Menurut Rika, lingkungan sosial dan media juga berperan besar. Hal ini dipengaruhi oleh kemudahan menemukan makanan cepat saji, harga yang terjangkau, dan tren media sosial yang mempromosikan tempat makan kekinian
"Makanan nontradisional kini dipandang lebih bergengsi dan modern," ujar Rika.
Baca Juga:
Dana Desa 2025: Pemdes Simanosor Kembali Bagikan Makanan Tambahan
Kondisi ini turut meningkatan masalah gizi mikro dan kesehatan metabolik. Survei menunjukkan, anak usia sekolah kerap mengalami defisiensi zat gizi seperti zat besi, zink, dan vitamin D.
Selain itu, kadar kolestrol di atas batas normal juga dialami oleh lebih dari 10% remaja. Bahkan, 2,6% remaja sudah berada dalam kategori hipertensi.
"Pola makan tinggi gula, garam, dan lemak tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga berhubungan dengan peningkatan risiko depresi dan gangguan kognitif pada usia muda," jelasnya.
Rika menekankan pentingnya intervensi di sekolah karena dapat menjangkau anak dan remaja secara luas. Sekolah yang menyediakan makanan sehat terbukti dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta memperbaiki gizi.
Dalam lingkungan dengan sumber daya terbatas, sekolah bisa menerapkan strategi sederhana seperti pengaturan waktu istirahat, pemberian label gizi traffic light pada makanan kantin, dan pembatasan penjualan makanan berisiko.
"Intervensi tidak harus mahal, yang penting tepat sasaran dan konsisten," tegasnya.
Rika menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, perguruan tinggi, pelaku usaha, masyarakat, dan media dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program perbaikan gizi anak dan remaja.
[Redaktur: Alpredo Gultom]