WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tak ada tanda, tak ada peringatan—dan tiba-tiba seseorang yang tampak sehat bisa jatuh tak sadarkan diri. Begitulah henti jantung datang tanpa kompromi, menyerang siapa saja tanpa memandang usia maupun riwayat penyakit.
Fenomena ini menjadi perhatian serius kalangan medis, karena banyak kasus henti jantung justru dialami oleh orang-orang yang aktif dan tampak bugar.
Baca Juga:
Boleh Diminum Tiap Hari, Tapi Begini Risiko Jika Konsumsi Kefir Berlebihan
Hal itu disampaikan oleh dr. Hasjim Hasbullah, Sp.JP, FIHA, AIFO-K, dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, dalam acara penerimaan rekor MURI edukasi Basic Life Support Siloam Hospitals di Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Kita boleh tahu di sekeliling kita banyak sekali yang henti jantung adalah orang-orang yang sehat. Saya sendiri sebagai dokter jantung tidak tahu,” ujarnya.
Menurutnya, henti jantung bukan hanya ancaman bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung, tetapi bisa menimpa siapa saja tanpa gejala sebelumnya.
Baca Juga:
Gejala Awal Sudden Cardiac Death (SCD) yang Diduga Picu Kematian Mendadak Marissa Haque
Henti jantung berbeda dari serangan jantung. Pada serangan jantung, biasanya ada sumbatan pada pembuluh darah, sedangkan henti jantung terjadi ketika jantung tiba-tiba berhenti berdetak sehingga darah tak lagi mengalir ke seluruh tubuh.
Akibatnya, otak dan organ vital lain kehilangan suplai oksigen hanya dalam hitungan menit.
Lebih lanjut, dr. Hasjim menjelaskan bahwa ada berbagai faktor tersembunyi yang dapat memicu henti jantung pada orang sehat.
“Henti jantung itu disebabkan banyak faktor. Jika kita tidak menjaga tubuh kita, darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, tentu saja penyakit-penyakit seperti itu pada akhirnya akan membuat jantung makin parah,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa gaya hidup memegang peran besar terhadap kesehatan jantung. “Belum lagi penyakit lain seperti stroke, semua intinya dari pola makan, gaya hidup,” tambahnya.
Meski demikian, ia mengingatkan agar masyarakat tidak sepenuhnya menyalahkan faktor keturunan.
“Jika kita ada keturunan, namun kita bisa menjaga gula kita bagus, kolesterol kita bagus, tensi kita bagus, Insya Allah kita aman,” tuturnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pola hidup sehat tetap menjadi kunci utama pencegahan, meskipun seseorang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung.
Dalam kasus henti jantung, waktu menjadi faktor penentu hidup atau mati. Otak manusia hanya mampu bertahan empat hingga enam menit tanpa oksigen.
“Secara fisiologi, otak manusia hanya dapat bertahan kurang lebih empat-enam menit tanpa oksigen. Bayangkan, apakah tenaga medis bisa datang dalam waktu empat menit? Tidak mungkin. Karena itu, kitalah garda terdepan,” tegas dr. Hasjim.
Ia menjelaskan, nol menit menandakan awal kematian klinis. Dalam empat hingga enam menit, otak mulai mengalami kerusakan, dan setelah sepuluh menit, kerusakan otak biasanya sudah permanen.
Karena itu, pertolongan pertama harus dilakukan segera ketika seseorang tidak bernapas atau kehilangan sirkulasi darah. Di sinilah pentingnya Bantuan Hidup Dasar (BHD), keterampilan sederhana yang bisa menyelamatkan nyawa.
Senada, dr. A Sari Sri Mumpuni, Sp.JP dari RS Pondok Indah Jakarta, juga mengingatkan pentingnya kemampuan masyarakat dalam melakukan BHD. Ia menjelaskan, setiap 90 detik satu orang meninggal dunia akibat henti jantung.
“Ketika jantung berhenti berdenyut akan menyebabkan otak rusak permanen dalam waktu 3-6 menit. Itu sebabnya korban harus segera ditolong dengan melakukan bantuan hidup dasar dalam 4 menit pertama agar aliran darah berjalan normal kembali,” papar dr. Sari, melansir Kompas.
Langkah pertama dalam BHD adalah memastikan keselamatan penolong, pasien, dan lingkungan. Pasien harus diletakkan di tempat aman dalam posisi telentang.
Selanjutnya, cek respon korban dengan memanggil atau menepuk tanpa mengguncang tubuhnya. Bila korban tidak merespons dan tidak bernapas, segera anggap sebagai henti jantung.
“Tetapi jika napas pasien teratur, tidak perlu dilakukan BHD,” kata dr. Sari.
Langkah berikutnya adalah memanggil bantuan dari orang sekitar atau petugas medis, tanpa meninggalkan korban. Setelah itu, lakukan kompresi dada dengan kuat dan cepat di titik tengah dada, di antara kedua puting.
Kompresi dilakukan 100-120 kali per menit dengan kedalaman 5-6 sentimeter, memberi waktu dada mengembang setiap kali tekanan selesai.
Menurut dr. Sari, kompresi dada minimal harus dilakukan selama dua menit. Jika penolong lelah, bisa bergantian dengan orang lain atau segera menggunakan alat AED (automated external defibrillator) sesuai petunjuk.
“Lakukan BHD sampai pasien memberi respon, misalnya batuk, bergerak, atau mulai bernapas. Jika belum ada respon, terus lakukan sampai tim medis datang,” jelasnya.
Jika korban menunjukkan tanda kehidupan, BHD bisa dihentikan. Namun bila tidak ada tanda sirkulasi selama 30 menit, penolong bisa menghentikan tindakan.
Meski BHD idealnya dilakukan oleh tenaga terlatih, setiap orang diharapkan mampu melakukan pertolongan dasar karena setiap detik sangat menentukan.
“Dengan melakukan BHD sampai korban mendapat bantuan medis, fungsi jantung dan paru dapat diperbaiki, dan suplai darah ke otak tetap terpelihara,” ujar dr. Sari menutup penjelasannya.
Keduanya menekankan bahwa menjaga jantung bukan hanya bagi mereka yang sakit, tetapi juga bagi orang sehat.
Pemeriksaan rutin, deteksi dini, serta gaya hidup seimbang dengan cukup istirahat, pengelolaan stres, dan aktivitas fisik teratur adalah kunci utama mencegah kematian mendadak akibat henti jantung.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]