WahanaNews.co | Amerika Serikat (AS) tidak lagi manfaatkan 'kelinci percobaan' untuk menguji obat yang sedang dalam tahap pengembangan.
AS kini telah menemukan cara baru yang canggih untuk melakukannya.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
Sebelumnya, sebuah obat harus lah diujicoba ke binatang sebelum mendapat izin dari Badan Obat dan Makanan AS (FDA).
Namun dilansir IFL Science, undang-undang baru yang ditandatangani Presiden AS, Joe Biden menggugurkan kewajiban tersebut.
"Undang-undang modernisasi 2.0 FDA akan mengakselerasi obat-obatan yang lebih efektif, inovatif, dan aman beredar di pasar lebih cepat dengan memotong alur yang tak didukung oleh ilmu pengetahuan masa kini," kata anggota senat, Rand Paul.
Baca Juga:
Gagal Menyentuh Pemilih, Harris Kalah Telak Meski Kampanye Penuh Serangan ke Trump
"Ini adalah satu langkah maju mengakhiri penderitaan dan kematian hewan yang jadi kelinci percobaan," kata dia.
Undang-undang baru ini tidak sepenuhnya menghilangkan pengujian obat terhadap hewan.
Namun, perusahaan obat-obatan bisa memilih untuk memakai metode lain selain memanfaatkan hewan.
Undang-undang baru ini mengubah undang- undang Federal AS soal Makanan, Obat-obatan dan Kosmetik, yang disetujui pada 1938. Sebelum direvisi, FDA mewajibkan adanya ujicoba terhadap hewan seperti tikus, monyet atau anjing sebelum obat tertentu mendapatkan izin beredar.
Namun model pengujian seperti itu mahal dan tak efektif. "Pengujian terhadap hewan lebih banyak salahnya ketimbang benar," kata ahli rekayasa biologi Harvard University, Don Ingber.
Pernyataan Ingber didukung Kepala Ilmuwan FDA, Namandje Bumpus. "Tikus atau curut tidak selalu sama seperti manusia dalam hal menghadapi proses medis dan kimiawi," katanya.
"Mengembangkan sistem in vitro yang berbasis kepada sel, jaringan, dan permodelan manusia, sebagai contoh, bisa lebih diprediksi," ujar Bumpus menambahkan.
Teknologi yang dimaksud adalah pemanfaatan sebuah chip sebesar USB berisikan saluran berongga berbahan polimer silikon. Saluran-saluran itu diisi sel hidup dan jaringan dari organ seperti otak, liver, paru-paru dan ginjal.
Kemudian, cairan dialirkan lewat rongga tersebut meniru aliran darah dalam tubuh. Normalnya di dalam tubuh manusia, obat-obatan yang berdampak merusak biasanya terasa di liver.
Nah, chip ini dapat bertindak seperti liver tersebut yakni mengirim peringatan jika zat-zat beracun yang dipompa ke dalamnya merusak sel yang ada.
Teknologi baru ini sebelumnya sudah diujicoba oleh Lorna Ewart, Kepala Ilmuwan di Emulate. Ia memanfaatkan chip tiruan liver untuk menguji sejumlah obat yang telah diujicoba kepada hewan namun ternyata berdampak negatif terhadap liver manusia.
Hasilnya, chip tiruan liver itu mampu mengidentifikasi dengan tepat 87 persen obat-obatan tersebut.
Di sisi lain mengutip Science, undang-undang baru ini mendapat tanggapan beragam di AS. Tamara Drake selaku Director of Research and Regulatory Policy Center for Humane Economy menyambut positif munculnya peraturan tersebut.
"Ini sangat berarti. Ini kemenangan untuk industri dan pasien yang membutuhkan obat-obatan," kata Drake, yang organisasinya jadi salah satu inisiator utama undang-undang tersebut.
Tanggapan berbeda dikeluarkan Jim Newman selaku communications director Americans for Medical Progress.
Ia menyebut penggantian ujicoba terhadap hewan dengan teknologi baru masih 'terlalu dini".
Newman, yang organisasinya mendorong riset hewan, mengatakan teknologi baru tersebut tidak akan bisa benar-benar menggantikan ujicoba terhadap hewan "dalam waktu yang sangat lama". [rgo]