WahanaNews.co | Ilmuwan dari Universitas Indonesia (UI) berkolaborasi dengan Greenpeace Indonesia merilis hasil penelitian yang mengejutkan. Dalam penelitian tersebut, terdapat kontaminasi mikroplastik yang tinggi pada galon isi ulang.
"Bila pada galon sekali pakai saja mikroplastik bisa ditemukan, tentunya galon isi ulang bakal lebih banyak lagi sebetulnya," ujar Kepala Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia Agustino Zulys.
Baca Juga:
Bahayakan Kesehatan, BPKN: Waspadai AMDK dengan Bromat Melebihi Batas Aman
Hal ini dia ungkapkan pada sebuah sesi tanya jawab pada konferensi pers peluncuran hasil riset lembaga bertajuk 'Drinking Tiny Plastics: Karakteristik, Sumber dan Indikasi Dampak Kontaminasi Mikroplastik dalam Air minum Dalam Kemasan (AMDK) Galon Sekali Pakai' pada (23/9/2021) lalu.
Agus menanggapi pertanyaan keberadaan mikroplastik pada air minum dalam kemasan galon isi ulang di luar subjek penelitian lembaga dan pada air minuman dengan perasa, soda dan sebagainya yang beredar luas di pasaran dalam kemasan botol plastik.
Di mata orang awam, plastik kemasan air minum dan sejenisnya selalu terlihat rigid.
Baca Juga:
Vicky Prasetyo Tawarkan Air Minum Sehat, “Gladiator Mineral Water”
Namun, dengan bantuan mikroskop, kemasan plastik itu sejatinya tersusun dari juntaian tali-tali polimer yang notabene mudah runtuh dan menjadi mikroplastik, partikel plastik dengan ukuran mikrometer, lantaran gerakan, transportasi, paparan sinar matahari dan sebagainya.
"Secara katat mata, kemasan plastik terlihat tidak berubah. Namun bila diamati di bawah mikroskop, juntaian polimer itu sejatinya mudah runtuh dan ada di dalam air siap minum. Mikroplastik hasil peluruhan itu sifatnya tidak larut dalam air, katanya mengingatkan.
Agus juga membenarkan belum ada penelitian spesifik soal mikroplastik dalam kemasan galon isi ulang.
Namun dia bilang banyaknya proses yang mengiringi peredaran galon isi ulang di masyarakat, termasuk dalam soal pembersihan berulang-ulang sisi dalam galon hingga transportasinya ke tempat-tempat jauh, menandakan peluruhan polimer alias kehadiran mikroplastik yang lebih besar.
Menurutnya, hal serupa bisa diasumsikan terjadi pada minuman bersoda dan sebangsanya yang hadir dalam kemasan plastik.
"Kalau air saja yang netral sudah menyebabkan mikroplastiknya keluar, apalagi yang bertekanan, yang sifatnya asam, yang mudah meluruhkan. Jumlah mikroplastiknya seharusnya lebih banyak. Tapi sekali lagi ini perlu riset khusus," katanya.
Lebih jauh, Agus menyebut riset teranyar lembaganya, sebuah kerja kolaboratif dengan lembaga nirlaba berbasis Jakarta, Greenpeace Indonesia, secara spesifik menyoroti keberadaan mikroplastik pada air minum kemasan galon sekali pakai.
Salah satu pertimbangannya adalah lantaran belum ada riset terkait hal tersebut sejauh ini.
Dia bilang dalam riset lembaga sebelumnya pada 2018, peneliti mendapati adanya mikroplastik pada air minum kemasan botol plastik yang beredar luas di masyarakat.
Temuan itu sejalan riset yang dilakukan peneliti dari Departemen Kimia, State University of New York, Amerika Serikat, setahun sebelumnya.
Dipublikasikan oleh banyak media kala itu, riset menemukan bahwa 93 persen air minum dalam kemasan botol plastik di dunia mengandung mikroplastik.
Hasil pengujian atas 259 botol air minum dalam kemasan dari 11 merek yang dijual di delapan negara, termasuk di antaranya atas air minum botol merek Aqua dari Indonesia, menemukan partikel mikroplastik berukuran antara 6,5 mikrometer hingga 100 mikrometer.
Agus yang sekaligus menjadi ketua tim peneliti dalam riset anyar itu menyebut riset atas dua sampel galon sekali pakai di Jakarta menunjukkan adanya partikel mikroplastik berukuran rata-rata 25,57 mikrometer sampai 27,06 mikrometer.
Secara keseluruhan kandungan mikroplastik pada sampel yang diuji mencapai rata-rata 80 juta hingga 95 juta partikel per liter. Pukul rata, konsentrasinya maksimal 5 miligram dalam setiap galon.
Lebih jauh, dia juga menyebut penelitian juga mengkaji kualitas sampel air tanah dan air pegunungan di Sentul, Depok dan Sukabumi.
Hasilnya menunjukan sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum dan masyarakat umum itu juga mengandung mikroplastik, meski dalam jumlah yang lebih sedikit.
"Kita praktis tak bisa lepas dari mikroplastik," katanya berharap pemerintah segera memperbarui standar baku mutu air minum dalam kemasan dengan menambah parameter pengujian mikroplastik.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2018 pernah merilis pernyataan bahwa belum ada studi ilmiah yang membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia.
Komite ahli gabungan FAO dan WHO sejauh ini juga belum mengevaluasi toksisitas mikroplastik terhadap kesehatan manusia.
BPOM karenanya mengimbau konsumen tetap tenang karena keamanan dan mutu produk air minum dalam kemasan yang beredar di Indonesia sudah diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pukovisa Prawiroharjo, ahli saraf dari Universitas Indonesia yang berbicara dalam webinar yang diadakan Greenpeace Indonesia, juga mengakui belum adanya uji klinis di dunia ini atas dampak paparan mikroplastik terhadap kesehatan manusia.
Dia mengisyaratkan sejauh ini yang mengemuka barulah sebatas asumsi bahwa akumulasi mikroplastik dalam tubuh manusia dalam jangka panjang bisa menyebabkan gangguan kesehatan.
WHO sendiri, menurut Agustino, telah menetapkan ambang batas berbahaya paparan mikroplastik, yakni 20 miligram per liter.
Menurutnya, jika sebatas melihat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa air minum kemasan dalam galon sekali pakai paling banyak mengandung 5 miligram per liter, maka kandungan kontaminan tersebut masihlah rendah dan di bawah ambang batas berbahaya WHO. [rin]