WahanaNews.co | Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Sri Yunanto mengungkapkan, bangsa Indonesia harus terus memahami dan menyamakan persepsi terkait toleransi, guna menghindari banyak hal yang mengancam persatuan dan kesatuan, terutama intoleransi yang bisa berbuah radikalisme.
Hal ini karena Indonesia adalah negara dengan penuh keragaman baik suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas.
Baca Juga:
Universitas Indonesia Juara Kompetisi Essay dalam Ajang Pertamina Goes To Campus 2024
“Kita ini masyarakat plural dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita ini bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas. Kita bisa bersatu kalau masing-masing itu saling memahami, toleransi, dan saling bisa menghormati,” ujar Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Kamis.
Ia mengatakan masalah ujaran kebencian di media sosial timbul karena konsep tentang toleransi, ujaran kebencian di Indonesia masih belum mempunyai persepsi yang sama.
Misalnya, lanjut dia, soal ujaran kebencian, kelompok tertentu menganggap itu adalah bagian dari kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi. Tapi kelompok lain, ketika sudah menyinggung agama di mana pun mempunyai kebebasan yang terbatas.
Baca Juga:
Menteri Bahlil Soal Moratorium Gelar Doktor: Yang Saya Tau Bukan Ditangguhkan
Apalagi kalau sudah namanya dogma, keyakinan, itu sudah tidak bisa diperdebatkan.
“Ini rawan terhadap konflik, sementara kadang-kadang yang mengatakan kebebasan berpendapat, di sebelah lainnya mengatakan ini sudah menyentuh ranah agama yang tidak bisa diperdebatkan dan ini sesuatu yang sensitif,” jelasnya.
Baca juga: Polri ingatkan masyarakat bijak bermedia sosial
Ia menegaskan, bila itu yang terjadi, maka akhirnya yang menjadi wasit adalah hukum untuk menentukan apakah ini bagian kebebasan berpendapat atau bagian dari ujaran kebencian terhadap suatu agama dan keyakinan.
Mantan Staf Ahli Menkopolhukam itu melihat, dari sisi historis, persoalan seperti ini sudah ada sejak dulu. Seperti dulu kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Saya hanya ingin mengatakan, saya tidak anti kebebasan dalam berpikir dan berpendapat tetapi saya ingatkan teman-teman dengan semangat kebebasan berpendapat dan eforia media sosial, harus berhati-hati, bahwa masalah itu tidak bisa dilihat secara sepihak dari perspektif HAM dan kebebasan berpendapat, tapi orang harus memahami, terutama menyangkut agama,” jelasnya.
Dalam konteks ujaran kebencian yang menyangkut agama, lanjut Yunanto, setiap orang akan membaca berbeda dan bereaksi secara berbeda. Karena itu ia mengingatkan hati-hati jangan menafikan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman sesuai agamanya masing-masing. Hal itulah yang membuat masyarakat mempunyai sensitifitas tinggi terhadap persoalan agama dan dogma.
Pun terkait intoleransi, biasanya orang yang melakukan ini membawa visi dan misi ajaran agama tertentu, sementara ia menafikan kelompok lain. Mereka inilah yang disebut kelompok intoleransi. Untuk itu ia menyarankan agar masyarakat terus memahami dan menyamakan persepsi tentang toleransi agar tidak membuat ujaran kebencian.
“Pertama jangan mudah berkomentar kalau tidak menguasai persoalan. Kita harus toleran dan harus berpikir dengan posisi agama orang lain. Apalagi kemudian melakukan aksi kekerasan atas nama ajaran agama,” katanya.
Baca juga: Polda Jabar terima laporan baru atas Bahar Smith soal ujaran kebencian
“Kita hidup beragama dalam keberagaman itu ada aturan hukum untuk mengatur keragaman itu. Makanya kalau ada kelompok lain tidak sesuai dengan keyakinan kita, kita harus menghormati, karena menyangkut keyakinan pasti ajaran agama apapun pasti tidak sama. Bahkan paham-paham dalam agama tertentu itu tidak sama,” katanya.
Ia mencontohkan, kalau dalam Islam ada sekian paham penafsiran, begitu juga di Kristen ada banyak denominasi. Artinya, bila merasakan bahwa ada kelompok agama lain melanggar aturan, orang tidak boleh main hakim sendiri.
“Kita serahkan ke penegak hukum, biarkan yang menilai aparat penegak hukum, karena kita bukan aparat penegak hukum,” tegas Yunanto.
Menurut dia, aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya secara bertingkat dan profesional mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai putusan pengadilan.
“Jangan kita sok jago jadi aparat penegak hukum.” katanya.
Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak untuk berhati-hati beraktifitas di media sosial. Bila ingin memberikan pernyataan, harus memahami hukum terkait masalah itu. Kemudian kalau terima pesan dari media sosial, juga harus cerdas memahami karena tidak gampang membedakan antara fakta, realita, dan hoaks (berita bohong) di media sosial.
“Lakukan verifikasi, jangan gampang menyebarkan. Kemudian bagi yang hobi YouTuber, komunikasi lewat platform, harus hati-hati karena Anda bicara disaksikan ribuan bahkan jutaaan orang. Semua hal yang disebar di media sosial itu pengaruhnya sangat luar biasa,” tutur pria yang juga dosen kajian terorisme Universitas Indonesia ini. [bay]