WahanaNews.co | Masih tersendatnya pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah
Air dinilai tidak sebatas pada masalah biaya dan waktu perizinan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform
(IESR), Fabby Tumiwa, menyebut
kendalanya selalu berujung pada kondisi Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Sulit (kembangkan EBT) karena
PLN, mereka over capacity, reserved margin di atas 55% sementara
permintaan listrik turun. Bahkan hanya tumbuh separuh dari proyeksi rencana
lima tahun lalu yang diprediksi tumbuh 7%-8%, tapi sekarang rata-rata hanya
4,5%. Jadi semua bergantung pada PLN," jelas Fabby kepada wartawan, Rabu (3/3/2021).
Dia juga menambahkan, persepsi yang
berkembang saat ini adalah kalau PLN menambah EBT, artinya akan menambah
kapasitas atau pasokan lagi.
Fabby juga mencontohkan, jika suatu
perusahaan swasta ingin menjual produksi listriknya pada PLN, belum ada jaminan
produksi tersebut akan dibeli.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Mengingat, kondisi PLN sendiri masih
berlimpah pasokan, di tengah tren penurunan permintaan.
"Akhirnya pengembangan EBT
kepentok dengan kondisi PLN, saat PLN tidak bisa jual listrik terjadilah
perlambatan (pengembangan EBT)," tegasnya.
Kunci lain yang dianggap cukup manjur
untuk mendorong pengembangan EBT, menurut Fabby, adalah
menggeser subsidi pemerintah, dari subsidi biodiesel menjadi
subsidi EBT.