WahanaNews.co, Jakarta - Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyoroti Tingginya angka perceraian di Tanah Air.
Merespons kondisi tersebut, BKKBN aktif memperluas upaya edukasi terkait kesehatan reproduksi kepada calon pengantin.
Baca Juga:
Kemen PPPA Sebut Kampung Ilmu Bisa Dorong Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
"Kita bangun agar calon-calon pengantin bisa sehat secara umum maupun secara reproduksi, dan siap untuk menjadi keluarga yang berencana, juga tidak hamil kalau tidak direncanakan, sehingga tidak banyak unwanted pregnancy," kata Hasto di Jakarta, Senin (26/2/2024).
Hasto menjelaskan, angka perceraian ini terus meningkat tajam akibat konflik antara suami dan istri, dimana berdasarkan data tahun 2021, angka tersebut mencapai 581 ribu.
Sedangkan jumlah perkawinan di Indonesia rata-rata mencapai 1,9 juta per tahun, yang berarti hampir setengah dari jumlah perkawinan tersebut kandas akibat perceraian.
Baca Juga:
BKKBN Sultra Edukasi Gizi dan Cegah Anemia bagi Siswa MA PESRI Kendari
Hasto mencatat bahwa peningkatan tajam angka perceraian disebabkan oleh konflik antara suami dan istri.
Selain itu, Hasto menyoroti bahwa masalah ekonomi dalam keluarga merupakan penyebab perceraian terbesar kedua setelah konflik internal dalam keluarga.
"Perselisihan di dalam keluarga yang kecil-kecil itu yang membuat perceraian paling banyak. Ekonomi nomor dua. Lalu, meninggalkan atau minggat dari rumah urutan nomor tiga, dan berikutnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta mabuk," paparnya.
Untuk itu, Hasto menekankan pentingnya pendidikan seks sejak usia dini, utamanya pada remaja, mengingat saat ini, kontak seksual pada usia remaja sudah semakin maju.
"Hasil hubungan atau kontak pertama seksualitas laki-laki dan perempuan di periode 2013-2015 puncaknya di usia 18 tahun, meski di usia 13-14 juga sudah terjadi kontak seksual, padahal di tahun 1990-an angka puncaknya di usia 20 tahun," ucapnya.
Untuk itu, ia mengingatkan agar para orang tua ikut waspada dan turut memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual, karena kontak seksual yang lebih dini atau early sexual intercourse tanpa pemahaman yang baik tentang reproduksi bisa menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan.
"Ini tantangan bersama, karena masih banyak yang menganggap bahwa pendidikan seks di usia dini itu tabu dilakukan orang tua. Yang dikhawatirkan itu, kalau semakin muda remaja melakukan intercourse, akan berdampak pada unwanted pregnancy, atau hamil di usia terlalu muda," katanya.
Ia juga mengingatkan, apabila semakin banyak kehamilan tidak diinginkan di usia muda, maka dapat menyebabkan semakin banyak remaja yang putus sekolah, dan meningkatnya angka kematian ibu (AKI), di mana saat ini berdasarkan data, posisi AKI di Indonesia adalah 189 per 100 ribu kelahiran hidup, sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang angkanya hanya tujuh per 100 ribu kelahiran hidup.
"Juga angka kematian bayi yang akan meningkat, selain angka kematian ibu dan putus sekolah, sehingga mengakibatkan mereka tidak bekerja yang kemudian insecure di hari tua. Ini akan menjadi missed demographic dividend, atau tidak berhasilnya kita mencapai bonus demografi," ucapnya.
Hasto juga menyinggung permasalahan gangguan mental dan emosional yang semakin meningkat.
"Stunting memang sudah menurun menjadi 21,6 persen, tetapi ingat, kalau kualitas SDM tidak hanya ada stunting yang menentukan. Salah satu yang menggerus produktivitas adalah mental emotional disorder," ujarnya.
Ia memaparkan, banyak remaja yang mengidap gangguan mental dan emosional, dimana angkanya naik dari enam persen pada 2013 menjadi 9,8 persen di 2019.
Untuk itu, ia menekankan bahwa kondisi tersebut harus menjadi perhatian bersama karena permasalahan kesehatan tidak bisa dilihat hanya dari segi fisik belaka.
"Permasalahan kesehatan tidak cukup dari fisik stunting atau tidak stunting, tetapi juga jiwanya, jadi bangunlah jiwanya, bangunlah badannya," ucap Hasto.
Sebelumnya, Hasto Wardoyo mengatakan bahwa tingginya angka perceraian di Indonesia disebabkan oleh orang-orang yang memberikan dampak buruk pada orang lain atau toxic people.
"Saat ini angka perceraian tinggi karena banyak keluarga asalnya adalah orang toksik bertemu orang waras, orang waras bertemu orang toksik, atau orang toksik bertemu yang toksik juga, akhirnya berkelahi terus dan terjadilah perceraian,” kata Hasto, melansir Antara.
Hasto menyampaikan pandangan ini ketika menjadi pembicara pada Konsolidasi Nasional Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) di Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Dia mencatat bahwa sejak tahun 2015, angka perceraian mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, pada tahun 2021, jumlah keluarga yang bercerai mencapai 581 ribu, sedangkan jumlah pernikahan dalam setahun mencapai 1,9 juta.
Untuk mengatasi lonjakan angka perceraian, Hasto menyoroti pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga dengan pendekatan asah (memberikan ilmu agama yang baik), asih (memberikan kasih sayang secara optimal), dan asuh (memberikan perlindungan yang memadai).
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]