WahanaNews.co |
Ekonom Indef, Didik J Rachbini, mengungkapkan keprihatihannya terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
Dia menilai, APBN telah diobrak-abrik oleh
penguasa, sehingga wajah dan strukturnya rusak berat.
Baca Juga:
Mabes TNI Kirim Prajurit Terbaiknya Ikuti Latihan Integrasi Di Australia
Evaluasi APBN 2021 dan pembahasan RAPBN 2022
sudah mulai dijalankan pada tahap awal dan dibicarakan dengan DPR.
Hal yang mengejutkan adalah Kementerian
Pertahanan dan Keamanan mengajukan rencana anggaran Rp 1.700 triliun.
Didik menjelaskan bahwa rencana anggaran
pertahanan dan keamanan sampai Rp 1.700 triliun itu di luar kepantasan.
Baca Juga:
Panglima TNI Tinjau Kesiapan Puncak Peringatan HUT Ke-79 TNI di Monas
Sebab, Indonesia sedang dilanda pandemi
Covid-19 dan perekonomian sedang terombang-ambing.
"Ini tidak layak karena APBN sekarat dan sarat
utang serta tidak masuk di akal sehat," tegasnya kepada wartawan, Kamis
(3/6/2021).
Lanjutnya, semestinya dalam keadaan Indonesia
sekarang ini, masyarakat lebih membutuhkan dukungan kesehatan dan ekonomi
dibandingkan dengan melipatgandakan anggaran untuk pertahanan dan keamanan.
"Jadi tidak pantas kalau anggaran senjata
tersebut diajukan dalam jumlah yang sangat besar dan menguras anggaran sosial,
pendidikan, kesehatan, daerah dan sebagainya,"paparnya.
Sebagai informasi, pada tahun 2019, utang yang
diputuskan APBN mencapai Rp 921,5 triliun.
Keperluan utang tersebut guna membayar bunga,
pokok, dan sisanya untuk menambal kebutuhan defisit.
Selanjutnya, tahun 2020, rencana utang ingin
ditekan menjadi Rp 651,1 triliun dengan motif agar wajah APBN kelihatan apik.
Namun, kenyataannya, Indonesia diserang
pandemi Covid-19, sehingga mengharuskan utang tahun 2020 dinaikkan pesat
menjadi Rp 1.226 triliun.
"Perubahan-perubahan seperti ini mencerminkan
perilaku labil dan semau gue dari penguasa, obrak-abrik merusak APBN,
dan cerminan DPR yang telat mikir dan lemah kuasa," jelas Didik.
Terkait hal tersebut, tahun 2022 DPR tidak
memiliki hak budget kembali sesuai Perppu dan Undang-Undang, sehingga tidak
bisa mengubah angka satu rupiah pun dari yang sudah diusulkan pemerintah.
Perlu diketahui, kondisi utang APBN mencapai
Rp 6.361 triliun, dan total utang publik sekarang mencapai Rp 8.504 triliun.
Akibatnya, setiap tahun kewajiban pembayaran
utang pokok dan bunga plus cicilan utang luar negeri pemerintah (tidak termasuk
swasta) sudah sangat tinggi dan di luar kewajaran, yakni mencapai Rp 772
triliun pada tahun 2020.
"Saya hanya mengingatkan, gabungan dari
masalah APBN ini ditambah kepercayaan publik merosot, maka krisis bisa terjadi.
Karena itu, kemungkinan krisis harus dicegah dengan menguatkan kembali APBN
agar hati-hati dalam perencanaannya dan mengembalikan lagi pertumbuhan di atas
tingkat moderat," tutupnya. [qnt]