“Curah hujan ekstrem masih terjadi, seperti yang tercatat pada 2 Juli lalu di Stasiun Geofisika Deli Serdang sebesar 142 mm, dan di Stasiun Meteorologi Rendani, Papua Barat, sebesar 103 mm,” jelas Dwikorita.
Faktor Global dan Regional Perparah Cuaca Ekstrem
Baca Juga:
Gelombang Panas Terjang Eropa: 8 Tewas, Wisata dan Nuklir Terdampak
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, memaparkan bahwa kondisi atmosfer yang labil diperparah oleh sejumlah faktor seperti lemahnya Monsun Australia dan aktifnya gelombang ekuator (Rossby dan Kelvin), meskipun fenomena MJO saat ini tidak terlalu aktif.
Kondisi ini membuat udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap, sehingga awan-awan hujan terus terbentuk bahkan di kawasan yang seharusnya telah memasuki musim kemarau.
Di sisi lain, faktor laut juga turut memengaruhi. Bibit siklon tropis 98W di sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung, namun telah meningkatkan kecepatan angin di Laut Cina Selatan.
Baca Juga:
Petaka KKN di Maluku: Cuaca Buruk Renggut Nyawa Dua Mahasiswa UGM
Sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudra Pasifik utara Papua Nugini ikut menciptakan zona konvergensi dan konfluensi di Laut Jawa, Laut Flores, serta perairan Maluku bagian utara.
“Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Sektor pelayaran dan nelayan wajib waspada,” ujar Guswanto.
Waspadai Potensi Cuaca Ekstrem hingga 10 Juli