WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan bahwa musim kemarau tahun 2025 akan berlangsung lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa awal musim kemarau 2025 sudah mulai terasa secara bertahap sejak April.
Baca Juga:
Musim Kemarau 2025 Tiba, BMKG Prediksi Puncak di Juni dan Juli
"Pada bulan April 2025, sebanyak 115 Zona Musim (ZOM) akan memasuki musim kemarau," ujar Dwikorita dalam keterangan resminya, Sabtu (12/4/2025).
Ia menambahkan bahwa jumlah zona yang memasuki musim kemarau akan terus meningkat pada bulan Mei dan Juni. "Seiring meluasnya wilayah yang terdampak, termasuk sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua," sambungnya.
Meski awal kemarau dimulai normal, analisis terhadap dinamika iklim global dan regional menunjukkan bahwa musim kemarau kali ini kemungkinan tidak akan berlangsung lama.
Baca Juga:
BMKG Imbau Wilayah di Jawa Tengah Waspadai Kekeringan Saat Puncak Musim Kemarau
Fenomena Iklim Global
Dwikorita yang juga mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa fenomena iklim global seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada dalam kondisi netral.
Menurutnya, ini berarti tidak ada gangguan iklim besar yang bersumber dari Samudra Pasifik maupun Samudra Hindia, setidaknya hingga semester kedua tahun 2025.
Namun, suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia cenderung hangat dan diperkirakan bertahan hingga September, sehingga dapat memengaruhi kondisi cuaca lokal di berbagai wilayah.
"Puncak musim kemarau diprediksi terjadi antara Juni hingga Agustus 2025," ujar Dwikorita.
Wilayah seperti Jawa bagian tengah hingga timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku diperkirakan mengalami puncak kekeringan pada bulan Agustus.
Sifat Musim Kemarau 2025
Dwikorita mengungkapkan bahwa secara keseluruhan, sekitar 60 persen wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau dengan sifat normal.
"Sementara itu, 26 persen wilayah diprediksi mengalami kemarau lebih basah dari biasanya, dan 14 persen wilayah lainnya justru lebih kering dari kondisi normal," ungkapnya.
Meskipun secara umum kemarau berlangsung lebih singkat, terdapat 26 persen wilayah yang justru akan mengalami musim kemarau lebih panjang dari biasanya, terutama di sebagian Sumatera dan Kalimantan.
Ia pun mengimbau agar para petani mulai menyesuaikan jadwal tanam dengan prediksi awal musim kemarau di masing-masing wilayah.
"Bagi daerah yang mengalami musim kemarau lebih basah, ini bisa menjadi peluang untuk memperluas lahan tanam dan meningkatkan hasil produksi, tentunya dengan tetap mengantisipasi potensi serangan hama," pungkas Dwikorita.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]