WahanaNews.co | Setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, kini bukan hanya korban yang bisa melapor.
Siapapun yang mengetahui atau melihat peristiwa tindak kekerasan seksual bisa melakukan pelaporan.
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
Pelaporan ini dapat dilakukan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, serta kepolisian.
Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 39 Ayat (1) UU TPKS.
"Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana," begitu bunyi aturan tersebut seperti dikutip Rabu (13/4/2022).
Baca Juga:
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien Berakhir dengan Penyerahan Uang Damai Rp 350 Juta
Kemudian pada ayat berikutnya disebutkan, tenaga medis atau tenaga kesehatan wajib untuk menginformasikan kepada UPTD PPA, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, atau kepolisian jika menemukan dugaan terjadinya TPKS.
Bila korban menyampaikan laporan langsung lewat kepolisian, Pasal 41 Ayat (4) UU TPKS menyebut, polisi wajib menerima laporan tersebut.
"Kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban," bunyi aturan tersebut.
Kemudian pada Pasal (42) Ayat (1) disebutkan, dalam waktu 1x24 jam sejak pelaporan, korban berhak mendapatkan perlindungan dari kepolisian.
Kemudian pada Ayat (3) dijelaskan, dalam rangka melindungi korban, aparat kepolisian dapat membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.
Adapun pada periode waktu yang sama terhitung sejak pemberian pelindungan sementara, kepolisian wajib mengajukan permintaan pelindungan kepada LPSK.
Selain itu, UU TPKS juga mengatur mengenai hak korban kekerasan seksual.
Pada Pasal 67 disebutkan, hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak atas pemulihan.
Hak atas penanganan termasuk di dalamnya hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan hingga pemulihan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, dan hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis.
Hak atas pelindungan meliputi perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain, perlindungan atas kerahasiaan identitas, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban, pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan pelindungan korban atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas TPKS yang telah dilaporkan.
Adapun hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan atau kompensasi, dan reintegrasi sosial.
Hak korban terhadap pemulihan mulai dari sebelum hingga setelah proses peradilan. [rsy]