WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana penyitaan lahan yang tak dimanfaatkan selama dua tahun oleh negara kembali menjadi sorotan publik dan menimbulkan polemik.
Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk ketegasan pemerintah dalam mengoptimalkan pemanfaatan tanah nasional, namun di sisi lain juga menuai kekhawatiran akan potensi konflik agraria, terutama jika aturan diterapkan secara serampangan.
Baca Juga:
BPN Serahkan Sertifikat Tanah Milik Pemkab Padang Lawas Utara
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa tanah-tanah yang menganggur tanpa aktivitas selama dua tahun berpotensi disita oleh negara karena seluruh tanah di Indonesia sejatinya adalah milik negara dan rakyat hanya diberikan hak atas tanah.
"Tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai, negara memberikan hak kepemilikan. Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya. Saya mau tanya, emang mbah mbah atau leluhur bisa membuat tanah?" ujarnya dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa saat ini pemerintah tengah memantau sekitar 100 ribu hektare lahan yang terindikasi sebagai tanah terlantar, namun proses penetapan tanah terlantar tidak bisa dilakukan serta merta karena membutuhkan waktu hingga 587 hari.
Baca Juga:
Kuasa Hukum Masyarakat Sebut Bukti-bukti PT SIP Tbk Tidak Sesuai
Tahapan prosesnya dimulai dari surat teguran pertama selama 180 hari, dilanjutkan peringatan kedua selama 90 hari, lalu dievaluasi selama dua minggu, kemudian diberikan peringatan ketiga selama 45 hari, dan dievaluasi kembali selama dua minggu sebelum pemberian Surat Peringatan ke-3 selama 30 hari, hingga akhirnya dilakukan monitoring dan rapat penetapan.
Namun kebijakan ini memicu reaksi keras di masyarakat karena dianggap sebagai bentuk keserakahan negara terhadap hak rakyat atas tanahnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian ATR/BPN, Jonahar, memberikan klarifikasi bahwa penertiban saat ini hanya berlaku untuk lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh badan hukum.
Ia menekankan bahwa tanah pribadi dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak termasuk objek penyitaan kecuali telah memenuhi kriteria sebagai tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021.
"Penertiban tanah hak milik baru dapat dilakukan jika masuk ke kategori ditelantarkan yang sudah tertuang dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar," ujarnya.
Lebih lanjut, Jonahar menjelaskan bahwa tanah hak milik bisa ditertibkan apabila telah dikuasai pihak lain dan berubah menjadi kawasan perkampungan, atau jika dikuasai tanpa hubungan hukum selama 20 tahun berturut-turut, serta jika tidak menjalankan fungsi sosialnya.
Sementara itu, untuk HGU dan HGB, aturan lebih ketat karena tanah tersebut bisa ditertibkan jika dalam dua tahun sejak hak diterbitkan tidak digunakan, tidak diusahakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan yang diajukan dalam proposal awal.
Jonahar juga mengimbau masyarakat agar tetap merawat tanahnya, baik yang sedang ditempati maupun yang berada jauh agar tidak menimbulkan masalah hukum.
“Kalau HGU, ditanami sesuai dengan proposal awalnya. Kalau HGB, dibangun sesuai peruntukannya. Kalau hak milik, jangan sampai dikuasai orang lain,” tegasnya.
Ia kembali menegaskan bahwa esensi dari kebijakan ini bukan untuk mengambil hak tanah rakyat, tetapi untuk menjamin pemanfaatan lahan secara optimal demi kesejahteraan bersama.
"Adanya penertiban justru bertujuan untuk mencegah sengketa serta menertibkan penguasaan tanah yang tidak sesuai ketentuan," tutupnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]