WahanaNews.co | Tim dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) dan seratusan petani mengubah lahan sayur menjadi kebun kopi di lereng barat Gunung Geulis, Sumedang, Jawa Barat.
Penanaman kopi di gunung kecil dekat kawasan perguruan tinggi di Jatinangor itu bertujuan mencegah longsor.
Baca Juga:
Kasus Plagiarisme, Sejumlah Akademisi Berakhir Gelarnya Dicabut
Hasil kebunnya kini beken dengan nama kopi Gugeuls, singkatan dari “Gunung Geulis”.
Ketua tim Program Pengabdian Masyarakat dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati di Institut Teknologi Bandung (ITB), Yayat Hidayat, mengatakan, proses pendampingan ke petani dirintis sejak 1995.
“Saya ingin mengubah pola budidaya tanaman agar ramah lingkungan,” kata dosen di Kelompok Keahlian Teknologi Kehutanan ITB itu kepada wartawan, Jumat (10/9/2021).
Baca Juga:
ParagonCorp Bersama ITB Dukung 'Limitless Education' Bagi Anak Muda
Saat itu, banyak warga di Gunung Geulis yang menanam tembakau juga sayur mayur.
Lokasi penanaman di bagian tengah lereng gunung, bahkan sampai merangsek ke hutan lahan milik negara.
Praktik budi daya tanaman semusim itu membutuhkan cahaya matahari penuh, sehingga lahan menjadi terbuka tanpa naungan pohon.
Selain itu, dari pantauannya, lahan yang dikelola sebagian besar berada pada kemiringan curam.
Jenis tanah yang dipakai bertani itu, menurut Yayat, tergolong sensitif erosi.
Pengolahan lahan yang intensif dapat menyebabkan erosi berat.
Jika dibiarkan, kondisi itu akan menyebabkan tanah longsor.
“Dikhawatirkan bakal menimpa permukiman di bagian bawahnya,” kata dia.
Mulai 1999, Yayat mengenalkan program wanatani (agroforestry).
Metodenya yaitu petani mengelola tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau pohon.
Petani yang menanam tembakau, sayuran seperti kacang tanah, kol, dan tomat, diajak menanam pepohonan.
“Tidak mudah mengubah itu,” katanya.
Program awalnya mengajak petani menanam pohon sengon sambil diajarkan menyiapkan bibit pohonnya.
Selain itu juga penanaman rumput untuk hewan ternak warga di kandangnya.
Ketika terjadi booming kopi pada 2014 di Jawa Barat, tim dosen ITB mengajak petani sayuran beralih komoditas ke kopi.
Jenis kopi yang ditanam yaitu arabika dan robusta.
“Kopi sesuai karena butuh naungan pohon, artinya lahan tidak terbuka seperti tembakau dan sayuran,” ujar Yayat.
Sebagian petani sayuran setuju beralih menanam kopi di bawah pohon pinus dan mahoni, sambil menanam pepohonan baru termasuk pisang.
Lokasi penanaman kopi bukan di lahan negara, melainkan di kawasan zona penyangga.
Dari data sementara hingga 2016, luas lahan kebun kopi itu totalnya 96 hektare.
Jumlah pohon kopi yang ditanam sebanyak 105 ribu batang.
Lokasi sebarannya mayoritas di daerah Jatiroke, kemudian Mangunarga, Cikahuripan, dan Sawahdadap.
“Pembibitan kopi ada yang berhasil sejak 1995, tapi saat itu belum berkembang pesat karena kopi belum booming,” kata Yayat.
Pada 2017, tim dosen Program Pengabdian Masyarakat ITB menambah pengetahuan petani soal teknik budi daya tanaman hutan (silvikultur) dan pemanfaatan jasa lingkungan hutan.
Program 2018, melatih petani soal cara merancang pola tanam agroforestri kopi di bawah tegakan pohon serta teknik proses pengolahan buah kopi.
Pada 27 September 2018, dibentuk Komunitas Petani Kopi Gunung Geulis (Koppi Gugeuls).
Jumlah anggotanya kini, kata Yayat, ada sekitar 150-an petani.
Lalu, pada 2019, kegiatan program pengabdian difokuskan ke pelatihan cara pengolahan limbah kopi menjadi briket arang dan asap cair. [dhn]