WahanaNews.co | Sepak terjang prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di medan
operasi selalu meninggalkan kisah-kisah heroik.
Di bawah panji dengan semboyan Tribuana Chandraca Satya Darma, pasukan elite TNI AD ini siap memberikan segalanya, termasuk nyawa sekalipun, demi menjalankan tugas negara.
Baca Juga:
Viral Seorang Pria Klaim Anggota Kopassus di Sidang PN Tangerang, TNI Buka Suara
Bagi mereka,
kehormatan adalah segalanya.
Dikutip dari buku Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mengenang perjuangannya saat mengemban
tugas di medan operasi.
Tak tanggung-tanggung, mantan Gubernur DKI Jakarta ini sampai tidak makan selama lima hari demi
menyelamatkan empat anggotanya yang tertembak musuh.
Baca Juga:
Pengusaha Cilacap Motivasi 26 Siswa Seko Pusdiklatpassus Angkatan 108 Saat Pembaretan
Kisah dramatis tersebut berawal ketika
Sutiyoso, yang kala itu berpangkat Kapten, dipanggil
Ketua G-1/Intelijen Hankam, Mayjen TNI LB Moerdani, untuk menjalankan tugas penting dan rahasia ke perbatasan Timor
Portugis atau Timor-Timur (Timtim), yang saat
ini disebut Timor Leste, untuk memantau perkembangan situasi
politik dan keamanan daerah tersebut yang semakin genting.
Pasalnya, para pengungsi dari Timor
Portugis mulai membanjiri daerah perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk
meminta perlindungan.
Sementara itu, partai-partai politik
di Timor Portugis belum mendapatkan titik temu untuk mengatasi permasalahan
yang ada.
Bahkan, Pemerintah Portugis sendiri
beberapa kali mengadakan perundingan dengan sejumlah partai politik, seperti UDT, Fretilin, dan Apodeti.
Namun, upaya
tersebut tidak membuahkan hasil.
Memasuki awal 1975, Sutiyoso
ditugaskan secara klandestin atau rahasia pra-Operasi Sandiyudha terbatas, yang kemudian dikenal dengan sandi Operasi Flamboyan.
Sutiyoso menjadi orang pertama yang
disusupkan oleh Benny Moerdani ke Timtim untuk mengumpulkan informasi.
Bersamaan dengan itu, Satuan Tugas
(Satgas) Intelijen Kopassus, di bawah pimpinan Mayor Yunus Yosfiah
yang beranggotakan 100 personel, dipersiapkan.
Seiring perkembangan situasi di Timor
Portugis, Satgas dikembangkan dengan membagi menjadi tiga tim yang diberi sandi
nama perempuan, yakni Susi, Tuti, dan Umi.
Masing-masing tim beranggotakan 100
personel, sebagai bagian dari tim Operasi
Flamboyan.
Tim Susi dipimpin Mayor Infanteri
Yunus Yosfiah, dengan Wakil Komandan Kapten
Infanteri Sunarto.
Sedangkan Tim Tuti dipimpin Mayor
Infanteri Tarub, dengan wakilnya Kapten Infanteri Agus
Salim Lubis.
Sementara Tim Umi dipimpin Mayor
Infanteri Sofian Effendi, dengan Wakil Komandan Kapten
Infanteri Sutiyoso.
Sebagai pasukan intelijen tempur
terbatas Operasi Flamboyan, ketiga
tim tersebut disusupkan dengan penyamaran, di mana
setiap personel memiliki ciri-ciri berambut gondrong, berpakaian sipil, kemeja, dan celana jeans.
Dilengkapi dengan topi dan selendang
khas Timor Portugis.
Di kemudian hari, ketiga tim ini
dikenal dengan sebutan The Blue Jeans
Soldiers yang melegenda.
Semua anggota pun diberi nama samaran.
Sebagai Kasi Intel Satgas, Sutiyoso
memilih nama Manix. Nama tersebut terinspirasi dari film mata-mata. Hingga
akhirnya Sutiyoso pun dikenal dengan panggilan Kapten Manix.
Di sisi lain, anggota Partai UDT yang dipimpin Ketua Umum, Francisco
Xavier Lopez da Cruz, telah melakukan gerakan revolusioner
anti-komunis terhadap Fretilin pada 11 Agustus.
Namun, gerakan
tersebut mampu dilumpuhkan Fretilin. Bahkan, tidak sedikit anggota UDT yang
ditangkap dan dibunuh oleh Fretilin.
Tepat pada 27 Agustus 1975, Tim Umi yang dipimpin Mayor Infanteri Sofian Effendi dengan Wakil
Komandan Kapten Infanteri Sutiyoso kemudian diterbangkan ke Kupang untuk
selanjutnya ke Atambua, kota terdekat Indonesia ke Timor Portugis.
Setibanya di Atambua, upaya penyusupan, yang rencananya dilakukan melalui Kefamenanu untuk menguasai
Ambeno, dibatalkan.
Tim ini diperintahkan melanjutkan
perjalanan ke Motaain, sebuah desa pantai di wilayah RI yang
hanya berjarak 3 Km sebelah barat Kota Batugede, wilayah Timor Portugis.
Namun, karena
situasi yang tidak memungkinkan, akhirnya Tim Umi diperintahkan untuk
menyusup jauh ke daerah pedalaman pegunungan di selatan Viquque.
"Saya dan pasukan mungkin tidak dapat
kembali setelah melakukan penyerangan Viquque yang terletak jauh dari
basis. Tapi, sebagai seorang prajurit, kita selalu siap melaksanakan tugas itu
sebaik-baiknya, apapun risikonya," kenang Sutiyoso.
Karena keterbatasan pasukan, Tim Umi
saat di Kotabot kemudian dibagi dua.
Tim Umi di bawah Mayor Inf Sofian
Effendi menyusup ke Tilomar. Sedangkan Tim Umi dipimpin Sutiyoso
menyusup ke Suai.
Inilah penyusupan terjauh saat Operasi Flamboyan.
Menjelang tengah malam, ketika
mendekati Suai, pasukan kemudian dibagi dua, mengingat
ada dua sasaran yang menjadi target, yakni markas polisi dan markas
tentara.
Sutiyoso menyasar markas tentara.
Sedangkan, pasukan kecil dipimpin Letnan Bambang bergerak menuju markas polisi.
Tepat pukul 01.00 waktu setempat,
Sutiyoso member isyarat dengan melepas tembakan.
Kedua tim kemudian secara serentak
melakukan penyerangan ke markas polisi dan tentara.
Terjadi perlawanan sengit.
Setelah pertempuran selama 20 menit,
Sutiyoso melepas tembakan sebagai isyarat untuk mundur, sesuai
strategi hit and run.
Saat itu, Sutiyoso mendapat laporan, Sersan Parman yang bertugas sebagai penembak roket launcher tertembak di kakinya.
Begitu pula pembantunya, Sarwono, tertembak sehingga satu jari
tangannya putus.
Termasuk empat anggota lainnya yang
tertembak.
Namun, saat akan
dijemput, ternyata Sersan Parman dan Sarwono telah berpindah.
Di tengah kejaran pasukan musuh,
pertempuran sengit terus terjadi.
Pergerakan tim Sutiyoso untuk kembali
ke Kotabot terhambat, karena harus bertempur dan membopong
empat anggotanya yang tertembak.
Dalam perang dahsyat seperti itu,
keempat orang yang tertembak tersebut "mestinya" ditembak mati, supaya tidak menjadi beban.
Bahkan, para
senior yang dihubunginya melalui radio telah menyarankan supaya ditinggal saja.
Tapi, Sutiyoso
tidak tega.
Sutiyoso, dengan
tiga anggota, kemudian membopong mereka yang
terluka sambil memanggul senjata.
Di tengah gempuran pasukan musuh,
Sutiyoso bersama timnya terus melakukan perlawanan, sambil
bergerak menuju tempat yang aman.
Bahkan, anggota yang dipapah Sutiyoso
meminta supaya dia ditinggal dan dibekali granat.
Jika sewaktu-waktu tertangkap, mereka
akan meledakkan diri dengan granat tersebut.
"Tidak! Kamu bisa saya selamatkan.
Kuatkan saja dirimu!"
Mereka terus bergerak. Hari sudah
siang. Sutiyoso bersama tim nya belum makan. Rasa lapar dan haus mulai
menyerang.
Hingga di suatu tempat yang cukup
aman, Sutiyoso kemudian membuka radio dan meminta dikirim bantuan helikopter.
Namun, karena
terbang terlalu tinggi, sehingga isyarat kepulan asap yang
dibuat Sutiyoso tidak terlihat.
Tapi, Sutiyoso
tidak mau menyerah, Kolonel Dading kembali dihubungi untuk mengirim helikopter
lagi.
Namun, lagi-lagi
helikopter tidak dapat melihat lima titik kepul asap yang dibuat
pasukan Sutiyoso.
Akhirnya, Sutiyoso menembakkan pistol
dengan tembakan isyarat warna hijau.
Meski upaya tersebut berhasil, namun hal itu juga membuat pasukan
Fretilin mengetahui keberadaan pasukan Sutiyoso.
Di tengah serangan pasukan Fretilin,
Sutiyoso meletakkan senjata dan ransel untuk membopong anggotanya yang terluka
naik ke helikopter.
Setelah berjuang keras, keempat
anggota yang tertembak berhasil dievakuasi menggunakan helikopter.
Sutiyoso kembali bergerak mencari
jalan menuju perbatasan.
Namun, Fretilin sudah menyebar di mana-mana, sehingga
perjalanan yang semula direncanakan selama 10 hari harus ditempuh dalam waktu
15 hari.
Sehingga, selama 5
hari mereka sudah kehabisan logistik. Makanan tidak ada, begitu juga air minum.
Keletihan yang amat sangat, ditambah rasa lapar dan haus, mereka
harus terus bergerak menghindari kejaran musuh.
Di tempat yang dirasa aman, Sutiyoso
memerintahkan pasukannya untuk istirahat, tapi
Sutiyoso terus menahan kantuk dan rasa letih, lapar, dan
hausnya.
Sutiyoso tidak mau semua terlelap, harus ada yang berjaga dan waspada.
Di tengah keletihan, rasa lapar, dan haus yang luar biasa itu, Sutiyoso tidak mau mengendorkan
kewaspadaan.
Dalam upaya melepaskan diri dari
kejaran Fretilin, Sutiyoso juga melarang anggotanya untuk melepaskan tembakan, kecuali sangat diperlukan untuk mempertahankan diri karena peluru
mereka masing-masing tinggal 20 butir dari semula 250 butir.
Setelah beristirahat sejenak, Sutiyoso
bersama pasukannya kembali bergerak menyusuri jalur pantai, mengingat beberapa jalur telah disekat oleh Fretilin.
Satu persatu pasukannya bergerak pada
malam hari.
Hingga akhirnya mereka selamat sampai
di perbatasan, dan masuk wilayah Nusa Tenggara Timur
(NTT).
Semua anggota pasukan selamat, meski kondisinya terlihat amat kurus, tak
terkecuali Sutiyoso, karena selama lima hari tidak makan. [dhn]