WahanaNews.co | Indonesia
tidak perlu buru-buru transisi energi, dari energi fosil ke energi terbarukan.
Meski proses tetap dilakukan,
pembangkit fosil jangan serta-merta dimatikan sebelum ada sumber lain yang
jelas terbukti.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman
Daniel, mengatakan bahwa Indonesia belum mencapai puncak penggunaan energi.
Berbeda dengan negara di Eropa dan
Amerika.
"Mereka sudah mencapai puncak dan
sekarang transisi," kata dia, dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap
Ketahanan Energi Nasional, Senin (2/8/2021).
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Indonesia masih membutuhkan berbagai
pembangkit saat ini, termasuk PLTU batubara, demi menggerakkan perekonomian
nasional.
Sampai ada sumber energi yang bisa
menggantikan pasokan dari pembangkit saat ini, Indonesia jangan buru-buru
berencana menghentikan operasi pembangkit sekarang.
"Jangan sampai terjebak. Sudah
terlanjur mematikan PLTU, ternyata pembangkit EBT tidak siap," kata dia.
Dia mengingatkan, pembangkit fosil
masih mendominasi pasokan energi di Eropa dan Amerika.
Meski naik, pembangkit EBT masih
rendah kontribusinya dalam penyediaan energi di Eropa dan Amerika.
Penyebab utama kondisi itu adalah
sifat intermitten pembangkit EBT.
Pembangkit surya dan angin, yang
disebut paling efisien dibanding EBT lain, belum selesai dengan masalah ini.
Sebab, energi dari pembangkit angin
dan surya tidak bisa terus menerus tersedia.
PLTS hanya bisa menghasillkan daya
jika mendapat sinar matahari memadai.
Sementara polusi, iklim, dan siklus
siang-malam membuat sinar matahari tidak bisa terus tersedia.
PLTB pun kurang lebih sama.
"Dengan teknologi sekarang, persoalan
ini (intermitten) tidak akan selesai," kata dia.
Dunia membutuhkan teknologi baru
untuk meningkatkan kemampuan baterai menyimpan energi.
Jika kapasitasnya bisa ditingkatkan,
maka persoalan ini bisa diselesaikan.
Herman juga mengakui sulit mengelakkan
RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing.
Beberapa klausul dalam RUU itu memicu
tudingan tersebut.
Dia mengaku mendengar sejumlah pihak
menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor
perekonomian Indonesia, termasuk energi.
Caranya dengan membuat regulasi yang
sesuai kepentingan mereka.
"Soal aturan wajib beli (listrik dari
IPP EBT), tidak perlu. Karena itu perlu perencanaan permintaan dan pasokan.
Perlu perizinan pembangunan pembangkit," ujarnya.
Perencanaan dan perizinan adalah cara
negara mengendalikan agar jangan sampai ada kelebihan atau kekurangan pasokan
energi.
Jika setiap pihak dibiarkan membangun
pembangkit, maka bisa terjadi kelebihan pasokan dan hal itu menjadi beban.
Perencanaan itu harus cermat.
Harus jelas berapa kebutuhan dan
berapa yang akan dibangun.
Hal itu berlaku untuk berbagai jenis
energi.
Sampai sekarang, Indonesia belum
punya daftar lengkap sumber pasokan dan kelayakan penggunaannya.
Ketiadaan daftar itu membuat
Indonesia sulit membuktikan klaim kaya sumber energi.
"Kalau bisa, lengkap di mana
letaknya, berapa potensinya berdasarkan studi kelayakan, bagaimana skala
keekonomiannya," ujarnya.
Di negara lain, sudah ada perencanaan
kebutuhan.
Untuk pemenuhannya, dibuka kompetisi
pemasok secara transparan.
Di Indonesia, ada peluang sebaliknya.
"Saya tidak setuju jika pemerintah
melakukan itu," ujarnya.
Dia juga mengatakan, feed in
tariff sebenarnya bagus kala digagas pertama kali.
Di Jerman, penetapan dilakukan oleh
pihak independen dan kompeten.
Sementara di Indonesia, dikhawatirkan
penetapan tarif dikhawatirkan melibatkan pihak berkepentingan.
"Di Jerman, (feed in tariff)
sudah ditinggalkan," kata dia. [dhn]