WahanaNews.co, Jakarta - Arya Wedakarna, yang juga dikenal sebagai AWK, resmi diberhentikan dari jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melalui sidang paripurna Badan Kehormatan (BK) DPD RI di Jakarta.
Senator asal Bali ini dipecat karena dinilai melanggar sumpah janji jabatan dan kode etik anggota DPD RI.
Baca Juga:
Ditempatkan di Komite II, Komeng Bingung: Berharap Seni Budaya, Kok Jadi Pertanian?
Pemecatan AWK ini terkait dengan pernyataan kontroversial yang diutarakannya beberapa waktu lalu mengenai staf penyambut tamu atau frontliner di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, yang menggunakan penutup kepala.
Pernyataan tersebut memicu protes karena dianggap telah menyakiti perasaan umat Islam. Sebagai hasil dari insiden tersebut, Arya Wedakarna kemudian disidang oleh BK DPD, dan akhirnya diberhentikan dari jabatannya.
Anggota DPD RI I Gusti Ngurah Arya Wedakarna (AWK) dijatuhi sanksi pemecatan. Namun, Wedakarna mengaku tidak malu terkait pemecatan terhadap dirinya itu.
Baca Juga:
ReJO Pro Gibran Ucapkan Selamat atas Terpilihnya Sultan Nadjamuddin jadi Ketua DPD RI
"Intinya saya tidak malu dipecat dari DPD RI karena laporan MUI, kan yang saya bela agama Hindu Bali," ungkap Wedakarna, melansir detikBali, Sabtu (3/2/2024).
Sementara itu, Wakil Ketua BK DPD RI, Made Mangku Pastika menjelaskan, pemberhentian Arya Wedakarna berdasarkan pengaduan masyarakat atas dugaan pelanggaran tata tertib dan kode etik, atas pernyataan ujaran kebencian dan penghinaan.
Adapun penghinaan yang dimaksud terhadap suatu golongan rakyat Indonesia yaitu terhadap suku selain Bali, dan agama selain Hindu.
"BK DPD RI telah memutuskan dan menetapkan bahwa teradu Shri IGN Arya Wedakarna MWS Anggota DPD RI dari Provinsi Bali terbukti melanggar sumpah atau janji jabatan dan kode etik, serta tata tertib DPD RI sebagaimana diatur dalam UU MD3, dengan sanksi berat pemberhentian tetap sebagai Anggota DPD RI. Putusan ini selanjutnya dituangkan dalam Keputusan BK DPD RI," katanya.
melansir detikBali, Wedakarna sudah berkali-kali melontarkan pernyataan kontroversial.
Sebelumnya, Wedakarna pernah dipolisikan lantaran diduga mengaku-ngaku sebagai Raja Majapahit. Tak hanya itu, ia juga sempat didemo oleh warga Nusa Penida lantaran tersinggung dengan ucapan Wedakarna yang dianggap melecehkan keyakinan mereka. Berikut ulasannya.
Dikecam MUI Bali
Agus Samijaya, Ketua Harian Bidang Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh Wedakarna yang menolak staf penyambut tamu Bandara I Gusti Ngurah Rai menggunakan hijab.
Menurut Agus, sikap yang ditunjukkan oleh Wedakarna dapat dianggap sebagai tindakan penistaan terhadap agama.
"MUI merasa sangat prihatin dan kecewa dengan sikap serta perilaku AWK yang menurut pandangan MUI tidak pantas untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu," ungkap Agus pada Selasa (2/1/2024).
Agus juga menyoroti bahwa ucapan senator asal Bali tersebut mencerminkan unsur sikap rasisme.
Menurutnya, tidak ada kebijakan resmi dari pemerintah atau instansi manapun yang melarang penggunaan hijab dalam lingkungan kerja atau masyarakat setempat, terutama bagi mereka yang berada di posisi frontline.
"Di daerah lain pun tidak ada aturan orang lokal harus di depan dalam bekerja di instansi apapun. Menurut saya itu yang menyentuh dapat berpotensi mencederai kerukunan antar umat beragama di Bali," imbuh Agus.
Agus berharap masyarakat Bali tidak terprovokasi dengan pernyataan yang dilontarkan Wedakarna. Ia menduga pernyataan berbau SARA itu hanya digunakan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan elektoral di Pemilu 2024.
"Jangan-jangan itu hanya digunakan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan elektoralnya di Pemilu 2024 dengan mencari perhatian publik," ungkap Agus.
"Dia harus ingat bahwa Bali adalah bagian dari NKRI bukan terpisah. Semua warga umat apapun berhak bekerja di Bali dengan memegang prinsip-prinsip agama masing-masing," imbuhnya.
Serangan Balik AWK
Arya Wedakarna merespons tudingan terhadapnya terkait isu SARA dengan melaporkan empat calon legislatif (caleg) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Senator asal Bali ini diduga terlibat dalam kampanye hitam saat berpartisipasi dalam unjuk rasa di depan kantor DPD RI, Denpasar.
"Dengan ini, saya ingin menyampaikan bahwa terdapat empat caleg yang diduga turut serta dalam demonstrasi menentang saya pada tanggal 4 Januari," ujar Arya Wedakarna dalam konferensi pers di kantornya di Denpasar, pada Kamis (18/1/2024).
AWK menyatakan keheranannya saat mengetahui bahwa empat caleg dari tiga partai berbeda ikut serta dalam aksi demonstrasi.
Mereka bersama dengan puluhan orang lainnya mengunjungi kantor DPD RI Bali pada Kamis (4/1/2024). Unjuk rasa tersebut merupakan respons atas pernyataan AWK yang diduga mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Terungkap bahwa empat orang tersebut berasal dari tiga partai yang kebetulan berbasis agama, dan sudah ada bukti berupa foto serta identifikasi sebagai pengurus partai yang juga menjabat sebagai calon legislatif," ungkap AWK.
Namun, AWK enggan membeberkan detail nama-nama caleg yang dia laporkan. Termasuk asal parpol caleg-caleg tersebut. Dia hanya menunjukkan foto-foto saat caleg itu ikut aksi mendatangi kantor DPD dengan tujuan menemui AWK.
Dia menyebut empat caleg itu telah dilaporkan ke Bawaslu Bali berdasarkan Undang-Undang Pemilu. Ia juga berpendapat, aksi caleg tersebut merupakan usaha yang dilakukan untuk menaikkan elektabilitas.
"Kedua ada suatu usaha yang dilakukan secara kurang patut untuk mungkin juga menaikkan elektabilitas," ucapnya.
AWK Lapor Polisi
Arya Wedakarna juga melaporkan balik tokoh agama dan ormas berbasis agama ke Polda Bali. Dia mengaku namanya sudah dicemarkan oleh tokoh agama dan ormas yang memainkan isu SARA.
"Pertama, kami telah melaporkan, ada tokoh Islam, beberapa tokoh yang telah mencemarkan nama baik saya," kata AWK di kantor DPD.
AWK menyebut laporan tersebut dilakukan pada 15 Januari 2024 dan telah diterima oleh Polda Bali.
"Dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan juga terkait UU ITE maupun UU KUHP dan terkait sesuai dengan laporan dari kepolisian sudah kami terima," jelasnya.
Namun, AWK tidak menyebut secara detail nama-nama tokoh dan lembaga mana yang ia laporkan. Menurutnya, para tokoh itu sudah menyebarkan hoaks atau berita bohong.
"Terkait dengan beberapa tokoh, majelis juga, tokoh agama yang melajukan fitnah kepada saya, yang di mana masuk ke unsur pencemaran nama baik," ungkap AWK.
Menurutnya, para tokoh tersebut telah mengganggu kinerja dirinya sebagai anggota DPD. "Dan kemudian mereka ikut menyebarkan berita hoaks, jadi tiang (saya) bersyukur laporan itu sudah diterima dan diproses, ya artinya posisi sudah satu satu," bebernya.
Ngaku Raja Majapahit
Pada tahun 2020, Puskor Hindunesia, sebuah kelompok masyarakat di Bali, melaporkan Arya Wedakarna (AWK) ke Polda Bali atas klaim yang menyatakan dirinya sebagai Raja Majapahit Bali.
Pelapor pada saat itu menyertakan berbagai bukti, termasuk video pidato AWK yang konon berisi klaim tersebut.
Mengutip detikcom, AWK membantah tuduhan bahwa ia pernah mengaku sebagai Raja Majapahit Bali. Pada tanggal 21 Januari 2020, Wedakarna mengatakan, "Saya tidak pernah mengklaim diri saya sebagai Raja Majapahit Bali."
Wedakarna menjelaskan bahwa gelar yang dimilikinya merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat. Ia menganggap dirinya sebagai pengayom komunitas di wilayah Jawa dan Bali.
"Kalau orang memberikan gelar macam-macam itu ya biasa, itu namanya persahabatan ya kalau orang kasih gelar itu ya. Nggak apa-apa kan, saya juga pengayom dari banyak komunitas di Jawa dan Bali," kata Wedakarna ketika itu.
Dipolisikan Warga Nusa Penida
AWK juga pernah dilaporkan warga Nusa Penida, Klungkung, pada 3 November 2020 lantaran diduga melecehkan simbol agama Hindu. Berdasarkan laporan tersebut, AWK diduga merendahkan Ida Bhatara Dalem Ped yang ber-stana di Pura Dalem Ped, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida.
Pernyataan AWK kala itu juga menyulut kemarahan masyarakat yang tergabung dalam Perguruan Sandhi Murti. Warga mendemo AWK karena dianggap melecehkan simbol agama yang disucikan masyarakat Bali.
Aksi demo sempat ricuh saat Arya Wedakarna menemui massa yang demo di Jalan Cok Agung Tresna Renon, Denpasar, Bali, pada 28 Oktober 2020. Saat menemui pendemo, AWK mengaku sempat terkena pukul oleh salah satu pendemo.
"Kami sudah siapkan ruang rapat, kami tunggu 20 menit tidak ada yang mau ke atas untuk rapat karena aspirasi saya sebagai DPD harus dengan media dan dialog. Kemudian saya lihat sudah mulai keterlaluan karena sudah melakukan penghinaan secara pribadi dan sebagainya," kata AWK kepada wartawan ketika itu.
"Dan ketika mereka bilang aman saya merapat ternyata saya ada satu tindakan penganiayaan sebagai bukti ada penganiayaan di sini, kemudian di muka saya dan ada tadi video getok kepala saya," tambahnya.
Sesepuh Perguruan Sandhi Murti I Gusti Ngurah Harta menjelaskan kedatangannya ke kantor DPD Bali merupakan undangan dialog. Menurutnya, masyarakat Bali sangat tersinggung dengan pelecehan yang dilakukan oleh AWK terhadap sosok Ratuniang Ratugede yang dihormati masyarakat Bali.
"Sebenarnya kedatangan kami hari ini undangan dia tapi dia mengajak dialog kiami ke sana hanya ingin demo dan orasi supaya dia mendengarkan unek-unek masyarakat Bali. Masyarakat Bali sangat tersinggung sekali dengan pelecehan-pelecehan simbol yang dipuja oleh masyarakat Bali mengatakan makhluk padahal itu sosok yang sangat disucikan oleh masyarakat Bali disebut makhluk seperti Ratuniang Ratugede," kata Ngurah Harta.
Diprotes Warga Bugbug
Warga Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, Bali, juga sempat menggeruduk kantor DPD Perwakilan Bali di Jalan Cok Agung Tresna, Kota Denpasar. Mereka mengecam ucapan Wedakarna yang dinilai provokatif.
Tim hukum masyarakat Desa Adat Bugbug I Nengah Yasa Adi Susanto mengungkapkan kedatangan warga Bugbug itu untuk meminta klarifikasi dari Wedakarna.
Menurutnya, Wedakarna provokatif saat menerima kelompok warga Bugbug yang menolak pembangunan Detiga Neano Resort.
"Tujuan kami mohon maaf bukan menyampaikan aspirasi. Kalau bagi kami tidak ada gunanya kami menyampaikan aspirasi kepada Saudara Wedakarna. Kami hanya ingin meminta klarifikasi," kata Adi Susanto di Gedung DPD RI Perwakilan Bali, Denpasar, Rabu (20/9/2023).
Warga Bugbug membawa sejumlah spanduk yang mengecam sikap Wedakarna. Beberapa di antaranya bertuliskan 'Wedakarna, hentikan provokasimu terhadap kasus perusakan dan pembakaran villa di desa Bugbug!!!'.
Tak hanya itu, ada pula spanduk bertuliskan 'Wedakarna jangan coba-coba intervensi proses hukum kasus perusakan dan pembakaran villa di Bugbug'. Ada pula spanduk yang bertuliskan 'Jangan pilih anggota DPD pemecah belah bangsa dan menghancurkan adat dan budaya Bali!!!'.
Warga Bugbug tidak dapat bertemu Wedakarna ketika itu. Staf Wedakarna dalam pertemuan menyebut bahwa AWK tengah melakukan tugas di luar Bali.
Marahi Guru di Hadapan Siswa
Video Arya Wedakarna saat memarahi guru di depan para siswanya viral di media sosial.
Berdasarkan video yang beredar, Arya Wedakarna tampak memarahi guru di SMKN 5 Denpasar hanya karena memberikan tugas menulis 1,5 jam kepada siswa yang terlambat masuk kelas. Senator yang juga bekas personel boyband FBI itu menyebut hukuman kepada siswa yang terlambat 3 menit itu berlebihan.
Anggota Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Habib Ali Alwi merespons tindakan Arya Wedakarna tersebut. Menurutnya, tindakan Arya Wedakarna sudah melewati kapasitasnya sebagai anggota Komite I Bidang Hukum DPD RI.
Respon terhadap tindakan Arya Wedakarna yang memarahi guru juga datang dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Menurut FSGI, teguran yang diberikan oleh senator kepada guru di depan para siswa adalah tindakan yang tidak tepat. FSGI menilai bahwa perbuatan tersebut malah merendahkan dan mempermalukan sang guru.
"Dalam pandangan FSGI, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perilaku yang tidak menyenangkan dan apabila disebarkan dengan sengaja untuk kepentingan tertentu (pribadi), serta menyebabkan rasa malu pada guru dan keluarganya, bisa saja dianggap sebagai pelanggaran UU ITE," demikian dijelaskan oleh FSGI dalam pernyataan resminya.
FSGI berpendapat bahwa Arya Wedakarna seharusnya bersikap dengan cara yang lebih baik jika niatnya memang baik.
Selain itu, FSGI menekankan pentingnya mematuhi tata tertib sekolah yang mengatur sanksi terhadap siswa yang terlambat sebagai suatu pedoman yang harus dihormati.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]