WahanaNews.co | Viralnya rekaman video Menteri Sosial, Tri Rismaharini, yang marah-marah saat pertemuan pemadanan data Program Keluarga Harapan (PKH), banyak disayangkan warganet.
Ismail Giu, seorang warganet, dalam unggahannya di media sosial menuliskan bahwa kedatangan Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial di Gorontalo telah disambut para pembesar negeri dengan genderang kebesaran adat.
Baca Juga:
Mensos Risma Dapat Pujian dari Profesor Asien-Afrika Institut di Universität Hamburg Jerman
Penyambutan tamu agung oleh para pembesar Negeri Gorontalo ini disebut Mopotilolo.
Penyambutan tamu negara ini dilaksanakan oleh para pemangku adat (Bate) U Duluwo Limo Lo Pohalaa (dewan adat dari lima negeri adat di Gorontalo).
Para pemangku adat ini menyambut saat sang Menteri Sosial di Bandara Djalaluddin diiringi tarian Longgo, yaitu jenis bela diri khas Gorontalo, dengan iringan hantalo (genderang negeri).
Baca Juga:
Mensos Risma Dapat Apresiasi dari Forum Infrastruktur OECD Terkait Orientasi Pembangunan Infrastruktur Bencana
Dalam penyambutan ini, para bate mengucapkan tradisi lisan yang bernama Tujai.
Inilah nasihat para pemangku adat yang diucapkan untuk pejabat negara yang baru menginjakkan kakinya di Gorontalo.
Tawu, ma tawu lo Ito Eya (Rakyat, rakyat diperuntukkan bagi tuanku)
Dupoto, ma dupoto lo Ito Eya (Angin, angin diperuntukkan bagi tuanku)
Taluhu, ma taluhu lo Ito Eya (Air, air diperuntukkan bagi tuanku)
Huta, ma huta lo Ito Eya (Tanah, tanah diperuntukkan bagi tuanku)
Tulu, ma tulu lo Ito Eya (Api, api dipertukkan bagi tuanku)
Bo dila polulia to hilawo Eyanggu (Tapi jangan disalahgunakan, tuanku)
Tujai ini bermakna sangat dalam, biasa diucapkan oleh para pemangku adat (bate) saat penobatan raja.
Syair ini berisi gambaran betapa besarnya kekuasaan yang dipegang oleh pejabat negara, namun para bate ini mengingatkan untuk tidak berlaku sewenang-wenang.
“Semangat, Ibu Risma! Yakinlah tanpa emosi meledak-ledak para pegawai pasti nurut. Wong ibu bosnya, kami rakyat, Kami sami'na waatha'na,” tulis Ismail Giu, salah seorang warga Kota Gorontalo, pada sebuah unggahan di media sosial, Minggu (3/10/2021).
Warganet lainnya, Eka Fahri, menanggapi unggahan ini dengan menulis, “semoga setiap kita bisa menjadi lebih bijak dalam berbicara dan berbuat.”
Viralnya rekaman video Menteri Sosial yang mengamuk kepada salah seorang pendamping PKH di Gorontalo hingga kini masih hangat dibicarakan warganet Gorontalo.
Masyarakat Gorontalo dikenal sebagai warga yang taat pada pemerintah, namun juga sangat kental dengan nilai-nilai adat.
Banyak adat yang masih dipraktikkan, mulai dari molontalo atau raba puru (upacara adat 7 bulanan), mo polihu lo limu (mandi lemon) yang dipimpin oleh hulango (dukun kampung), prosesi pernikahan yang memiliki banyak tahapan, hingga pada kematian, bahkan 40 hari setelah kematian masih dilaksanakan prosesi adat.
Kentalnya nilai-nilai adat yang dianut warga Gorontalo ini yang membuat mereka terpana saat menyaksikan Menteri Sosial, Tri Rismaharini, marah-marah di forum terbuka yang melibatkan banyak pejabat.
Sikap emosional sambil menuding-nuding salah seorang pendamping PKH di dalam forum formal ini dianggap tidak layak dilakukan oleh seorang pejabat negara.
Peristiwa ini seperti guntur di siang hari yang mengagetkan dalam suasana kehidupan nilai budaya ketimuran yang masih kental, bahkan Gorontalo yang sering dijuluki sebagai Serambi Madinah ini memiliki falsafah adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah (Adati hula-hula to syaraa, syaraa hula-hula to kuruani).
“Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan, tapi orang Gorontalo mengedepankan adabu (adab) dari pada ilimu (ilmu),” tulis Abdul Majid Suaiba.
Warganet lain, Dawin Azis Punjala, menuliskan pada kolom komentar di Facebook saat menanggapi unggahan Ismail Giu, “semoga jadi pelajaran buat terkhusus ibu Risma, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Kata Budayawan
Suleman Bouti, seorang budayawan yang juga pengajar di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, menanggapi kemarahan Menteri Sosial ini dengan sikap yang moderat.
Menurutnya, orang Gorontalo seharusnya merasa berterima kasih kepada yang datang marah-marah sekalipun, kalau (kemarahan) itu untuk kebaikan masyarakat.
“Kan cuma marah, abis marah segera perbaiki data, dan jangan ulangi lagi. Ini yang namanya loiya lo tauwa, tauwa lo loiya (yang menjadi keputusan dan langkah para petinggi adalah hal yang harus dipatuhi masyarakat) karena tauwa (pemimpin) Gorontalo adalah kebenaran dan kebaikan,” kata Suleman Bouti.
Orang Gorontalo percaya bahwa pemimpin itu mengemban amanah kebaikan sehingga rakyat memegang nilai istilah loiya lo tauwa, tauwa lo loiya.
Ia menjelaskan, jika masalah data PKH dibiarkan oleh seorang menteri, ini akan menjadi masalah yang berlarut-larut dan merugikan banyak orang.
Suleman Bouti melihat agenda validasi data di Gorontalo memang harus ada tangan besi yang membongkarnya.
“Biarkan Bu Risma dengan gaya marah-marahnya, kita ambil positifnya bahwa orang Gorontalo terbuka untuk dimarahi kalau salah. Orang Gorontalo merasa berterima kasih kepada yang datang marah-marah asal untuk kebaikan,” tutur Suleman Bouti.
Ia melihat dalam kasus kemarahan Menteri Sosial menunjukkan ada kesalahan dalam bekerja maka orang Gorontalo siap untuk dimarahi.
Lain halnya kalau sudah bekerja benar dan dimarahi, maka orang Gorontalo akan kembali kepada nilai utama yang dijunjung, yakni kebaikan.
Banyak orang Gorontalo yang memprotes pemimpinnya di kala nilai kebenaran yang menjadi amanah seorang khalifah diragukan implementasinya oleh seorang khalifah.
Menurut Suleman Bouti, olongiya lo lipu (pemimpin negeri) itu nilai utamanya adalah kebaikan.
Bila terjadi ketidakbaikan maka orangnya yang diganti dengan yang lain demi menjaga kebaikan.
Kebaikan harus dijaga dan dipertahankan dengan cara apapun, beserta petugas olongiya yang menjadi pelaksananya.
“Kejadian Mensos diributkan karena terbuka di medsos artinya kejadian itu sudah jadi konsumsi rakyat. Rakyat Gorontalo memperdebatkan nilai lokal adalah karena di level rakyat multitafsir bisa terjadi. Dalam tradisi penyelesaian perbedaan itu selalu diselesaikan dengan musyawarah para tetua di Bantayo,” ucap Sulamen Bouti. [dhn]