WahanaNews.co | Ketua MPR RI, Bambang
Soesatyo alias Bamsoet, memaparkan, untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), diperlukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Dalam amandemen terbatas itu, hanya akan ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI 1945.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
"Penambahan
satu ayat pada Pasal 3, yang
memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara
penambahan satu ayat pada Pasal 23,
mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan Presiden pasca-2024
apabila tidak sesuai PPHN. Selain itu, tidak
ada penambahan lainnya dalam amandemen kelima UUD NRI 1945. Termasuk, wacana
penambahan masa jabatan Presiden
menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem Presidensial. Justru kita perkuat, dari visi-misi Presiden menjadi visi-misi negara melalui PPHN,"
ujar Bamsoet, dalam
Diskusi Akademik Urgensi Amandemen
Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan,
di Universitas Ngurah Rai, Bali, Senin (10/5/21).
Turut
hadir pejabat struktural Universitas Ngurah Rai, antara lain Rektor, Ni Putu Tirka Widanti; Wakil Rektor, I Gede
Sumarda; Wakil Rektor III, Dewa Made Karsa; Direktur Pascasarjana, Nyoman Diah Utari; Dekan Fakultas Hukum, I Wayan Putu Sucana; Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, I Gusti Made Sudika; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Gede Wirata; Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ade
Maharani.
Hadir
pula Ketua Yayasan Jagadhita Denpasar, Anak
Agung Gde Raka, serta
para mahasiswa Universitas Ngurah Rai.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Ketua
DPR RI ke-20 ini menjelaskan, pasca-amandemen keempat konstitusi, fungsi Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Sementara
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berlandaskan
visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
"Hal
ini justru tidak memberikan jaminan bahwa satu periode pemerintahan akan
melanjutkan program pembangunan yang sudah dilakukan pemerintahan periode
sebelumnya. Sebagai gambaran analogi sederhana, kebijakan pemindahan Ibu Kota
Negara yang pembangunannya dimulai pada periode pemerintahan Presiden Joko
Widodo dengan membutuhkan waktu tidak sebentar, tidak memiliki jaminan
pembangunannya akan dilanjutkan oleh presiden penggantinya" kata Bamsoet.
Ketua
Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menekankan, ketiadaan Pokok-Pokok Haluan
Negara (PPHN) juga menyebabkan ketidakselarasan pembangunan nasional dengan
daerah.
Karena
sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tidak terikat
untuk mengacu RPJMN, mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat
mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih.
Demikian
juga dengan visi dan misi gubernur/bupati/walikota diantara berbagai daerah
lainnya.
"Terdapat
sepasang Presiden - Wakil Presiden,
34 pasang Gubernur - Wakil Gubernur,
dan sekitar 514 pasangan Bupati - Wakil Bupati / Walikota - Wakil Walikota.
Seluruhnya memiliki visi misi masing-masing, yang terkadang bertabrakan satu
sama lain. Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional
dan daerah berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak
saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain. Ke depan, visi-misi Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota
akan mengacu kepada visi misi negara sebagaimana tercantum dalam PPHN,"
tandas Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, tidak heran jika berbagai kalangan
mulai menyuarakan dan mendukung agar MPR RI kembali memiliki kewenangan
mengubah dan menetapkan PPHN.
Dukungan
yang datang, antara lain, dari
Forum Rektor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor
Indonesia, serta berbagai Organisasi Keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
"Hasil
survei MPR periode 2014-2019 memperlihatkan sebanyak 81,5 persen responden
menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model
GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu. Alasan yang paling
dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena
saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak
berkesinambungan," terang Bamsoet.
Kepala
Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menjelaskan,
secara filosofis, PPHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan
nasional yang berbasis kedaulatan rakyat.
Artinya,
rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya.
Dokumen
tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi presiden dan lembaga negara dalam
menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangan masing-masing.
"Secara
ideologis, keberadaan PPHN dipandang mendasar dan mendesak, mengingat tidak
saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik
dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Tetapi juga yang lebih mendasar
adalah guna memastikan proses pembangunan nasional tersebut merupakan
manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu
Pancasila," pungkas Bamsoet. [qnt]