WahanaNews.co | Sejumlah pasal viral, mulai dari pidana mati, penghinaan presiden, hingga delik santet, diungkap para anggota Tim Perumus RUU KUHP dalam diskusi publik yang digelar Kantor Staf Presiden (KSP) di Hotel Pullman Bandung Grand Central, Jawa Barat, Rabu (7/9/2022).
Forum diskusi tersebut, menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, merupakan penjabaran dari permintaan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang ingin memperluas peran publik dalam penyusunan RUU KUHP ini.
Baca Juga:
IKADIN Sambut Baik Disahkannya RUU KUHP Jadi Undang-undang
“Sebetulnya pada 17 Agustus 2022 kemarin RUU KUHP ini bisa ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Namun, Presiden menginginkan keterlibatan publik yang lebih luas dalam proses penyempurnaan RUU KUHP,” kata Mahfud, dalam sambutan sekaligus pembuka acara diskusi publik tersebut, Rabu (7/9/2022).
Pada acara yang diikuti sekitar 650 peserta secara hybrid (luring dan daring) tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menandaskan, reformasi KUHP ini bertujuan mencapai politik hukum Indonesia demi tegaknya perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, anggota Tim Perumus RUU KUHP, Dr Surastini Fitriasih SH MH, mengungkap 14 pasal RUU KUHP yang viral dan mengundang kontroversi di masyarakat.
Baca Juga:
RUU KUHP Disahkan Menjadi UU, Sekjen Kemenkumham : Alhamdulillah
Menurut Surastini, berdasarkan RUU KUHP edisi terakhir, 4 Juli 2022, setidaknya ada 14 pasal yang ramai diperbincangkan masyarakat.
Antara lain, Pasal 2 dan 601 terkait hukum adat, lalu Pasal 67 dan 100 soal penerapan pidana mati, Pasal 218 tentang penghinaan presiden, juga Pasal 252 yang banyak disebut orang dengan istilah tindak pidana santet.
Kemudian Pasal 302 tentang penodaan agama, Pasal 280 soal contempt of court atau penyesatan proses peradilan, Pasal 467 terkait aborsi, serta penghapusan pasal tindak pidana advokat curang.
Soal penerapan pidana mati, Surastini menjelaskan, Pasal 100 ayat (1) RUU KUHP mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, peran terdakwa dalam tindak pidana, atau ada alasan yang meringankan.
“Ketentuan ini sudah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaknya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun,” papar Surastini.
Sementara soal pasal penghinaan presiden, Surastini menegaskan bahwa aturan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir MK.
Menurutnya, Pasal 218 RUU KUHP justru mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai Delik Aduan.
Pasal ini, lanjutnya, tidak membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat, karena Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP secara tegas telah membedakan kritik dan penghinaan, dan menegaskan bahwa kritik dimaksudkan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa dipidana.
Ketentuan ini selaras dengan pengaturan penghinaan terhadap kepala negara sahabat, dan juga merupakan pemberatan dari penghinaan terhadap warga negara biasa dan penghinaan terhadap pejabat.
“Pasal ini menutup kemungkinan dilaporkannya Penghinaan Presiden/Wapres oleh relawan/simpatisan Presiden/Wapres, karena hanya Presiden/Wapres yang dapat mengajukan pengaduan,” kata Surastini.
Sementara itu, terkait “pasal santet”, Surastini memberikan klarifikasinya.
“RUU KUHP tidak pernah mengatur tindak pidana santet. Yang dipidana adalah mengaku memiliki kekuatan gaib yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik,” katanya.
“Delik ini justru untuk mencegah timbulnya kejahatan baru berupa penipuan, pemerasan, atau timbulnya korban akibat adanya orang yang mengaku mempunyai kekuatan gaib,” imbuhnya.
Pasal ini juga, lanjutnya, melindungi religiusitas yang terkandung dalam sila pertama Pancasila.
“Pasal ini jenisnya adalah Delik Formil, yaitu yang dilarang adalah perbuatannya saja, tanpa memperhatikan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu,” tandasnya.
Pada acara yang dipandu presenter MetroTV, Prita Laura Saba alias Lulu, ini hadir pula sejumlah pakar, praktisi, dan tokoh-tokoh hukum senior.
Sebut saja, misalnya, mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman, juga eks Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim.
Dari organisasi masyarakat, kehadiran Ketua Umum Pemuda Pancasila, Japto Soerjosoemarno, diwakili Sekretaris Pengurus Pusat Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila, KRT Tohom Purba.
“Demi kesempurnaan RUU KUHP itu, kami akan mencoba merekomendasikan evaluasi terhadap sejumlah pasal yang masih menimbulkan kontroversi di masyarakat,” kata Tohom Purba.
Diketahui, RUU KUHP itu sudah bergulir sejak tahun 1963.
Dengan kata lain, perjalanannya kini sudah mencapai usia 59 tahun.
Bahkan, beberapa tokoh penggeraknya, seperti Prof Muladi dan Prof JE Sahetapy, sudah wafat.
Di penghujung acara diskusi publik tersebut, Tim Perumus RUU KUHP mengingatkan, bila kelak kitab regulasi itu disahkan, masih ada waktu dua tahun untuk proses sosialisasinya sebelum memasuki tahap penerapan total. [yhr]