WahanaNews.co | Industri tekstil menyayangkan limbah fly ash dan bottom ash
(FABA) yang berasal dari stoker boiler
tidak termasuk yang dikeluarkan dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
dalam PP Nomor 2/2021, aturan turunan UU Cipta Kerja.
Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2021 itu mengatur tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan hanya mengeluarkan FABA yang berasal dari PLTU.
Baca Juga:
Gandeng IPB, PLN Kembangkan Pemanfaatan FABA di Bangka Belitung
Meski demikian, Sekretaris Jenderal
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman, mengatakan, saat ini pihaknya masih akan melihat
perkembangan ke depan mengingat banyak juga penolakan yang dilontarkan dari
lembaga masyarakat.
"Kami akan lihat dulu
perkembangannya, prinsipnya kami juga minta FABA [dengan teknologi stoker boiler] dari industri ini juga
dikecualikan dari dulu," katanya kepada wartawan, Senin
(15/3/2021).
Pasalnya, Rizal menyebut hasil limbah
FABA tersebut memiliki kemanfaatan yang sama secara fisik, yakni dapat digunakan untuk semen dan sejenisnya.
Baca Juga:
Limbah Batu Bara Diolah Jadi Pupuk, Bisa Hemat Rp 7,4 Miliar/Tahun
Menurutnya, jika FABA industri tekstil
dapat dikecualikan juga maka dinilai akan sangat membantu industri, apalagi dalam kondisi pemulihan saat ini.
Rizal menyebut, pengelolaan
FABA yang mahal sejak mulai keluar dari pabrik dan harus melibatkan pihak
ketiga yang tersertifikasi saat ini sangat memberatkan industri.
Menurut Rizal, KLHK dulu menilai FABA
dari industri ini masif dan sangat banyak tetapi dia belum mengerti alasan
pemerintah kali ini.
"Kami sedang menyisir hal-hal
yang memberatkan industri, jika FABA ini bisa dikecualikan maka akan mengurangi
biaya pengelolaan tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Koalisi
Bersihkan Indonesia menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus
limbah batu bara hasil pembakaran, yaitu Fly Ash dan Bottom Ash
(FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (Limbah B3).
"Penghapusan FABA dari kategori limbah
berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan
keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke
hilir," kata Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia, Andri
Prasetiyo, dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3/2021).
Keputusan yang berpihak pada industri
energi kotor batu bara ini, tutur Andri, adalah kabar buruk bagi lingkungan
hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan
nasional. [dhn]