WahanaNews.co | Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic, tak mempermasalahkan larangan nikah beda agama di UU Perkawinan.
Namun, Daniel menggarisbawahi adanya kenyataan nikah beda agama teresebut terjadi di Indonesia.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Daniel meminta pemerintah memberikan solusi.
"Karena dalam kenyataannya, norma pasal itu kemudian diterjemahkan dari masing‐masing pihak yang ketika dalam kenyataannya ada perkawinan antaragama," kata Daniel yang dikutip risalah sidang dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/7).
Sidang judicial review itu diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege yang mengaku gagal menikahi kekasihnya yang muslim karena terhambat UU Perkawinan.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Dalam sidang tersebut, pemerintah diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
"Di dalam masyarakat bahkan yang terjadi itu karena pernikahan beda agama kemudian melakukan pernikahan dua kali. Menurut agama dari suaminya, kemudian juga menurut agama dari istrinya. Kalau perkawinan itu terjadi beda agama. Dari perspektif Pemerintah tadi tegas menyatakan bahwa itu haram, tapi dalam kenyataannya justru terjadi di Indonesia," beber Daniel.
Atas fakta di atas, maka Daniel meminta agar pemerintah memberikan solusi nikah beda agama yang ada di masyarakat.
"Sebenarnya kami minta untuk dari Pihak Dirjen Dukcapil, ya, bagian dari Pemerintah, untuk daftar selama ini perkawinan antaragama yang terjadi di Indonesia. Supaya bisa tadi yang disampaikannya oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo, jalan tengahnya seperti apa?" tanya Daniel tegas.
Atas pertanyaan tersebut, perwakilan Kementerian Agama (Kemenag), Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin menyatakan tetap pada keterangan pemerintah yaitu politik hukum negara saat hanya mengakui pernikahan beda agama.
"Diskusi akademik dan studi-studi tentang Pasal 2 dan Pasal 8 ini, saya kira terjadi cukup intens juga di tengah-tengah masyarakat. Namun, kami juga melakukan diskusi dengan berbagai pihak, namun sikap kami tetap seperti apa yang sudah kami presentasikan. Dan jika dibutuhkan keterangan tambahan, kami akan menyampaikannya secara tertulis," jawab Kamaruddin Amin.
Dalam persidangan, pemohon menghadirkan Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid di persidangan.
Menurut Usman Hamid, sudah saatnya Indonesia membolehkan pernikahan beda agama.
"Lembaga‐lembaga HAM dunia, termasuk organisasi non-pemerintah seperti Amnesty International menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan menyatakan 'Tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‐negara tersebut'," beber Usman Hamid.
Kasus ini masih diadili oleh MK dan persidangan masih bergulir. [qnt]