WAHANANEWS.CO - Harga cabai yang melesat jelang akhir tahun memaksa pemerintah bergerak cepat agar dapur rumah tangga tak ikut “terbakar.”
Badan Pangan Nasional mulai mengatur distribusi cabai dari daerah sentra produksi ke wilayah yang kekurangan pasokan untuk menahan lonjakan harga menjelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026.
Baca Juga:
Harga Sejumlah Kebutuhan Pokok di Kota Gunungsitoli Turun
Kebijakan ini ditempuh menyusul kenaikan harga cabai di berbagai daerah, di mana cabai merah tercatat menembus Rp100 ribu per kilogram bahkan lebih di sejumlah wilayah.
Lonjakan harga tersebut dipicu kombinasi musim hujan dan meningkatnya permintaan menjelang momentum libur panjang akhir tahun.
Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas Maino Dwi Hartono menyebut faktor cuaca sangat memengaruhi produksi cabai di tingkat petani.
Baca Juga:
PIHPS Nasional Catat Kenaikan Harga Cabai Rawit Merah dan Telur Ayam Ras
“Hal yang perlu diantisipasi karena akhir tahun biasanya musim hujan, produk hortikultura seperti sayuran dan cabai memang rentan terhadap perubahan cuaca,” ujar Maino dalam keterangan resmi, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan perubahan cuaca, terutama hujan, kerap membuat petani menunda panen atau menghasilkan volume petikan yang lebih sedikit dibanding kondisi normal.
“Begitu perubahan cuaca, misalnya hujan, biasanya para petani tidak metik atau petikannya tidak sebanyak kalau kondisi normal,” katanya.
Dampak kondisi tersebut terlihat dari harga cabai merah yang melonjak tajam di sejumlah wilayah Indonesia.
Di beberapa daerah, harga cabai merah telah berada di kisaran Rp100 ribu per kilogram dan bahkan lebih tinggi di beberapa kabupaten terpencil.
Kenaikan ini sejalan dengan data lonjakan harga yang terjadi di sebagian besar kabupaten dan kota pada pekan kedua Desember 2025.
Untuk menekan tekanan harga, Bapanas memfasilitasi kerja sama antara pedagang besar di Jakarta dengan petani cabai di Aceh Tengah.
Kerja sama tersebut menghasilkan pasokan cabai rata-rata sekitar 13 ton per hari.
Distribusi pasokan diarahkan ke pasar-pasar induk seperti Senen, Kramat Jati, Tanah Tinggi, Cibitung, serta Caringin Bandung.
Selain Aceh Tengah, sentra produksi cabai lain seperti Jeneponto, Enrekang, dan Wajo di Sulawesi Selatan juga tengah dijajaki sebagai pemasok tambahan.
Maino mengakui distribusi cabai masih menghadapi tantangan akibat faktor cuaca yang berpotensi mengganggu pasokan dan memicu koreksi harga.
“Memang ada tantangan distribusi karena faktor cuaca dan sebagainya, yang kemudian bisa menyebabkan terganggu pasokan dan ujungnya terkoreksi harga tadi,” ujarnya.
Ia menambahkan Bapanas terus memantau perkembangan pasokan dan harga cabai secara nasional setiap hari.
Program kerja sama antar daerah, menurut Maino, sebenarnya telah berjalan sejak beberapa tahun terakhir.
Melalui skema tersebut, daerah non-sentra produksi dapat memenuhi kebutuhan cabai dengan mengambil pasokan dari wilayah sentra.
Ia menuturkan pemerintah daerah juga ikut membantu pembiayaan distribusi dan transportasi agar harga cabai di tingkat konsumen tetap terjangkau.
Kepala Bapanas sekaligus Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan pentingnya percepatan distribusi komoditas hortikultura.
“Cabai kami sudah minta Dirjen Hortikultura, cabai dan bawang, karena bawang merah kita sudah ekspor juga,” kata Amran.
Ia menilai penguatan distribusi menjadi kunci utama agar pasokan cabai dan bawang tetap stabil di pasar.
Berdasarkan proyeksi neraca pangan Desember 2025, produksi cabai besar diperkirakan meningkat 22,3 persen menjadi 127,8 ribu ton.
Produksi cabai rawit pada periode yang sama diproyeksikan mencapai 108,6 ribu ton.
Dengan kebutuhan nasional di kisaran 76 hingga 78 ribu ton, pemerintah menilai ketersediaan cabai masih mencukupi.
Oleh karena itu, persoalan utama yang perlu dibenahi saat ini adalah kelancaran distribusi, bukan kekurangan produksi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]