WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dua menteri kabinet Presiden Prabowo menjadi sorotan tajam saat peringatan Hari Tani Nasional karena dinilai gagal menyelesaikan konflik agraria yang sudah menahun.
Momen itu terjadi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Baca Juga:
BPN Jambi Diminta Tangguhkan HGU PT Kaswari Unggul Sebelum Konflik dengan Masyarakat Selesai
Pertemuan dihadiri lima menteri, yakni Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, Plt Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, dan Menteri Desa serta Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, bersama Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari.
Dalam rapat tersebut, pemerintah, DPR, dan organisasi petani membahas konflik agraria yang berlangsung puluhan tahun dan merugikan petani.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menegur keras Menhut Raja Juli karena dianggap gagal menangani persoalan agraria.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Tangani 48 Kasus Konflik Agraria Antara Warga dan Perusahaan
“Di Kementerian Kehutanan, Bapak Raja Juli, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Saya pernah mengajak Bapak Raja Juli itu ke salah satu Desa Bulupayung di Cilacap,” kata Dewi.
“Itu adalah konflik agraria puluhan tahun yang berkonflik dengan Perhutani,” lanjutnya.
Menurut Dewi, lahan pertanian seluas 9.000 hektar di Cilacap merupakan lumbung pangan nasional, tetapi masih diklaim sebagai kawasan hutan oleh Perhutani.
Ia mempertanyakan mengapa tanah pertanian produktif terus diperlakukan sebagai kawasan hutan, padahal di lapangan tidak ada hutan sama sekali.
“Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” ujarnya.
Akibat klaim tersebut, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen dan tidak mendapatkan program pertanian dari pemerintah.
“Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN, masih kawasan hutan, masih di dalam HGU,” tambah Dewi.
Menhut Raja Juli mengaku pernah datang ke Cilacap dan menyaksikan langsung hamparan padi, bahkan sudah berupaya agar lahan pertanian dilepas dari klaim kawasan hutan, tetapi terhambat oleh Perhutani.
“Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” kata Raja Juli.
Selain itu, Dewi juga menyoroti Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang dianggap tidak menindaklanjuti data-data konflik agraria yang sudah diberikan KPA.
Menurut Dewi, kementerian ATR adalah salah satu yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI terkait persoalan pertanahan.
“Ada banyak kanal pengaduan, di Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, bahkan mungkin di DPR. Tapi hanya untuk tempat mengadu, tidak ada kanal penyelesaian,” kata Dewi.
Ia menegaskan bahwa KPA sudah berkali-kali menyerahkan data konflik agraria kepada ATR, termasuk langsung ke Nusron Wahid, tetapi tidak pernah diproses.
“Jadi ada problem, data-data kami itu ditumpuk, diarsipkan, tapi tidak dikerjakan,” ujarnya.
Nusron mengakui bahwa data-data dari KPA memang belum digarap, tetapi ia berkomitmen menjalankan prinsip keadilan dalam redistribusi tanah.
"Karena itu, sebagai bentuk komitmen kami mengamini data itu, kami sudah 10 bulan diangkat dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, kami belum tandatangani satupun perpanjangan dan pembaruan," kata Nusron.
Di Desa Bulupayung, para petani telah menggarap lahan sejak 1962, tetapi tanah seluas 2.000 hektar yang mereka kuasai tetap diklaim Perhutani, sementara 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan negara seperti jalan, irigasi, dan pupuk subsidi.
Padahal desa tersebut merupakan sentra pertanian pangan di Cilacap.
Akibat konflik berkepanjangan, biaya produksi pertanian menjadi tinggi, jaringan pasar tidak menentu, dan nasib petani semakin terhimpit.
Nasib serupa dialami petani di Kecamatan Sukasari, Sumedang, yang sejak 1965 menggarap lahan pertanian, tetapi sejak 1996 status desanya berubah menjadi kawasan hutan.
Mereka juga tidak mendapat dukungan infrastruktur dasar akibat status lahan tersebut.
Menurut data KPA, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, sumber daya alam, dan produksi di Indonesia, sedangkan 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan.
“Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah,” tegas Dewi.
Konflik agraria berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah dan sumber penghidupan.
KPA juga menyoroti meluasnya proyek-proyek investasi besar seperti PSN, food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan yang menggerus tanah petani dan wilayah adat.
“Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar,” kata Dewi.
Ia menutup dengan mendesak Presiden Prabowo segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif dan berada langsung di bawah kendali Presiden.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]