WahanaNews.co | Konflik agraria selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat khususnya para petani, karena berkaitan dengan kesejahteraan mereka. Contohnya seperti ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Hal tersebut tak kunjung menemukan jalan keluar seolah-olah sudah mengakar, baik antar sesama masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, maupun antar perusahaan.
Baca Juga:
Pemerintah Komitmen Berikan Resolusi Nyata Terkait Konflik Pertanahan Transmigrasi dan Agraria di Indonesia
Begitu pula di Provinsi Jambi, sejak puluhan tahun yang lalu selalu muncul isu ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah yang seolah tanpa penyelesaian.
Di tahun 2020 setidaknya ada kurang lebih 120 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Batanghari dan Tebo yang bersinggungan dengan PT WKS terkait dengan kepemilikan tanah.
Kebijakan reforma agraria yang diharapkan menjadi jawaban bagi permasalahan ini juga belum di anggap efektif karena kurangnya komitmen pemerintah untuk melakukan berbagai perbaikan dalam masalah tersebut. Sehingga kebijakan reforma belum sepenuhnya menyentuh ke akar rumput permasalahan terkait tata aturan dalam kepemilikan lahan ini.
Baca Juga:
Dugaan Penggelapan Sertifikat Tanah, Ini Penjelasan Kepala Kantor BPN Kota Sorong
Situasi sulit seperti ini, menyebabkan masyarakat kemudian menggunakan cara-caranya tersendiri guna menyelesaikan konflik. Seperti pendudukan lahan, melakukan reklaiming dan lain sebagainya. Dan tak jarang kemudian berujung bentrok fisik atau kekerasan lainnya.
Seperti yang terjadi di batanghari 2019 silam dimana kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) yang berkonflik dengan PT WKS. Oleh sebab itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai konflik-konflik agraria memang rata-rata di latarbelakangi oleh ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. [rsy]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.