WahanaNews.co | Tokoh masyarakat adat Papua membeberkan permasalahan saham PT Freeport Indonesia yang memicu konflik antara aktivis HAM, Haris Azhar dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Diketahui, pengacara Luhut, Juniver Girsang, menuding Haris meminta saham Freeport.
Baca Juga:
Haris dan Fatia Divonis Bebas, Luhut : Kami Hormati Putusan Hakim
Sekretaris Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Yohan Zongganau menjelaskan duduk perkara masalah tersebut. Ia menerangkan bahwa Haris merupakan kuasa hukum yang mewakili masyarakat adat untuk menyelesaikan masalah penyaluran saham yang dijanjikan Freeport.
"Pak Haris Azhar ini memberikan bantuan dan menanyakan, 'ini bagaimana urusan saham ke masyarakat adat'. Kemarin kita datang 31 orang tokoh-tokoh karena pak Luhut bersedia ketemuan dengan kita," kata Yohan seperti dilansir dari CNNIndonesia, Kamis (30/9/2021).
Ia menjelaskan bahwa pertemuan itu sedianya dilakukan pada 4 Maret 2021. Namun demikian, Luhut membatalkan pertemuan itu dan mengalihkan ke salah seorang Deputi di Kementerian tersebut.
Baca Juga:
Hari Ini, Sidang Vonis Haris Azhar dan Fatia Kasus Pencemaran Nama Baik Luhut
Menurut dia, Luhut sebagai Menteri Koordinator terkait dapat turun tangan dan membantu pengurusan distribusi saham yang diberikan kepada masyarakat adat.
"Dalam perjanjian, namanya kesepakatan itu antara owner-nya Freeport dan Menteri Jonan dan Ibu Sri Mulyani sebagai Menkeu penandatanganan kesepakatan pertama yang dinamakan perjanjian induk investasi saham," ucap dia.
Pemerintah Pusat mengambil alih saham terbesar di perusahaan itu, dengan pembagian 48,8 persen untuk Freeport dan 51,2 persen untuk pemerintah Indonesia. Penandatangan itu, kata dia, dilakukan pada 12 Januari 2018.
Dalam kesepakatan itu, kata dia, masyarakat Papua seharusnya mendapatkan pembagian sebesar 10 persen saham. Alokasi itu berasal dari Pemerintah Pusat dari pencaplokan 51,2 persen saham.
"Dari 10 persen itu dibagi lagi, pemerintah Provinsi 3 persen dan Kabupaten Timika dapat 7 persen. Dalam 7 persen itu sudah termasuk masyarakat adat, pemilik hak ulayat dan korban permanen," jelasnya.
FPHS, kata dia, kemudian dibentuk sebagai wadah bagi masyarakat adat yang tergolong sebagai pemilik hak ulayat.
Pemerintah Provinsi, kata dia, sempat menyatakan secara verbal bahwa masyarakat adat yang diwadahi dengan FPHS akan mendapat 4 persen dari alokasi saham itu.
"Tapi tidak dituang dalam suatu keputusan tertulis. Itulah kemudian, kita tuh sudah disampaikan verbal tapi tulisan itu belum keluar sampai sekarang," ucapnya lagi.
Seharusnya, ucap dia, ada perusahaan daerah yang diberikan tugas untuk mengelola saham itu. Perusahaan diisi oleh unsur pemerintah provinsi, kabupaten dan masyarakat korban permanen dan pemilik hak ulayat.
"Itu duduk sebagai komisaris di situ dan mengelola secara bersama dan dipertanggungjawabkan dalam perusahaan namanya perusahaan daerah PT Papua Divertasi Mandiri. Sekarang mau jalan, dua unsur sudah ada provinsi dengan kabupaten, sekarang masyarakat itu belum ada," cetus Yohan lagi.
Oleh sebab itu, hingga saat ini pengalokasian saham tersebut ke masyarakat adat berlarut hingga saat ini dan belum berjalan. Hal tersebut, kata dia, yang kemudian diadvokasi oleh Haris Azhar.
Namun, pengacara Luhut, Juniver Girsang menuding Haris sempat meminta saham Freeport ke Luhut. Hal itu ia katakan saat menjadi salah satu narasumber di tayangan Mata Najwa, Rabu (29/9/2021).
Namun demikian, Haris membantah tudingan itu. Ia mengaku bahwa memang sempat mengunjungi Kantor Kemenko Marves. Namun, saat itu, kedatangannya ke Kemenko Marves untuk membantu Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) masyarakat adat sekitar wilayah tambang Freeport Indonesia.
Lagipula, saat itu menurutnya ia tidak menemui Luhut, melainkan salah satu pejabat Kemenko Marves.
"Emangnya saya siapa minta saham Freeport? Kalau ada dokumentasi bukti saya minta saham tersebut atau yang dimaksud, mohon disampaikan, jangan asal bicara," kata Haris dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (30/9/2021). [rin]