WahanaNews.co | Kala itu, tahun 1988, Indonesia dilanda krisis moneter.
Dollar
AS melonjak, menyebabkan para debitor tak bisa mengembalikan
utang-utangnya.
Baca Juga:
Depo Logistik, Bisnis Baru Tommy Soeharto di Karawang
Akibatnya,
tak sedikit bank yang gulung tikar.
Untuk
menyelamatkan bank-bank tersebut, Bank Indonesia (BI) menggelontorkan bantuan
likuiditas kepada bank yang mengalami kesulitan, dengan pemerintah sebagai penjamin
penuh (blanket guarantee) atas
bantuan tersebut.
Bantuan
likuiditas itu dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan
oleh pemerintah.
Baca Juga:
Menko Polhukam Beberkan Nama Obligor yang Lunasi Utang BLBI
Tentulah
bantuan tersebut harus dibayar kembali oleh bank dan debitur yang meminjam uang
di bank yang mendapat bantuan tersebut.
Dalam
perjalanannya, banyak bank yang tidak bisa membayar karena tutup,
sehingga pemerintah harus terus-menerus mencicil pokok dan bunga utang kepada
BI.
Sampai
saat ini pun, SUN yang diterbitkan pemerintah masih dipegang oleh BI.
Selang
22 tahun, tepatnya pada tahun 2021, pemerintah akhirnya memburu pada
obligor dan debitur yang sempat menerima bantuan tersebut.
Tak
lain untuk menagih kembali atau mengompensasi pembayaran utang yang dilakukan
pemerintah sampai saat ini.
Berdasarkan
hasil analisis dari ratusan berkas, setidaknya ada 48 obligor dengan besaran
utang mencapai Rp 110,45 triliun.
Untuk
menagih utang, pemerintah lantas membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak
Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Satgas
bakal bekerja selama 3 tahun, untuk bekerja menagih para obligor dan debitur
BLBI.
"Oleh
karena itu, Satgas (BLBI) yang dibentuk oleh Presiden bertugas untuk semaksimal
mungkin mendapat kembali kompensasi dari Rp 110,45 triliun," kata Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers, Jumat
(27/8/2021).
Panggil Debitor dan Obligor
Beberapa
waktu lalu, satgas mulai memanggil para debitor dan obligor.
Dari
pemanggilan tersebut, beberapa obligor memperlihatkan niat baik.
Namun,
beberapa lainnya justru bersikap sebaliknya.
Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, pihaknya menyiapkan
beberapa cara agar para debitur dan obligor mau menghadap pemerintah.
Salah
satu caranya yang dilakukan adalah mengumumkan nama obligor/debitor yang enggan
datang tersebut kepada publik.
Teranyar,
Satgas BLBI memanggil Pangeran Cendana
alias putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto,
melalui koran.
Pemanggilan
Tommy merupakan yang ketiga kalinya setelah dalam dua pemanggilan sebelumnya
dia mangkir.
Pada
Kamis (26/8/2021), kehadiran Tommy diwakili oleh kuasa hukumnya.
Sri
Mulyani lalu meminta agar obligor dan debitur selalu memenuhi panggilan yang
dilayangkan oleh Satgas BLBI.
Pasalnya,
kejadian ini sudah berlangsung 22 tahun lalu.
Sri
Mulyani ingin mereka segera membayar utang-utangnya kepada negara.
Kejar BLBI sampai Anak-Cucu Debitor
Tak
hanya obligor dan debitur yang terlibat kala itu, penagihan juga dilakukan
kepada para keturunan dari obligor dan debitur.
Sebab,
banyak usaha obligor/debitur yang sudah dititahkan kepada anak cucu mereka.
Pada
Jumat (27/8/2021), satgas mulai menyita aset-aset obligor/debitur yang tersebar
di dalam negeri.
Aset-aset
yang disita adalah tanah dan bangunan di empat tempat berbeda.
Penyitaan
aset ditandai dengan pemasangan plang di atas tanah aset tersebut.
Sri
Mulyani merinci, negara menyita 49 bidang tanah eks BLBI dengan luasan mencapai
5,29 juta m² atau 5.291.200 m².
Empat
bidang tanah tersebut terletak di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Karawaci,
Tangerang.
Pertama,
44 bidang tanah seluas 151.992 m² di Perumahan Lippo Karawaci, Kelapa Dua, Tangerang, Banten.
Kedua,
tanah seluas 3.295 m² di Jalau Teuku Cik Ditiro Nomor 108, Kelurahan Madras
Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera
Utara.
Ketiga,
tanah seluas 15.785 m² dan 15.708 m² di Jalan Bukit Daya Km 10, Gg
Kampar 3 (Kawasan Kilang Bata) RT 04 RW 09, Sail - Bukit Raya, Pekanbaru, Riau.
Keempat,
sebanyak 2 bidang tanah total seluas 5 juta m²; dengan rincian tanah seluas 2,01 juta
m² di Desa Cikopomayak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; dan tanah seluas 2,9 juta m² di Desa
Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pemerintah
juga menyita aset properti yang berada di lingkungan Lippo Karawaci milik eks
Bank Lippo dan debitornya dengan luasan sekitar 25 hektar.
Sejatinya,
aset di lingkungan Lippo Karawaci sudah diserahkan pada tahun 2001.
Penyitaan
hari ini dilakukan lantaran aset telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa
izin dari Kementerian Keuangan.
Pihak
ketiga itu bahkan sudah disurati dan diingatkan.
Setelah
sukses menyita 49 bidang tanah di 4 wilayah hari ini, satgas sudah merencanakan
menyita 1.672 bidang tanah lagi.
Total
luasnya mencapai 15,28 juta m².
"Satgas
akan fokus terhadap apa yang ada di dalam negeri, karena kami percaya di dalam
negeri masih banyak yang perlu kita temukan," kata Ketua Harian Satgas
BLBI, Rionald Silaban, di kesempatan yang sama.
Kejar sampai ke Luar Negeri
Pria
yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu
ini menyebut, satgas akan mengejar obligor dan debitur beserta asetnya sampai
ke luar negeri.
Kebanyakan
para obligor yang berada di luar negeri mendekam di Singapura.
Pengejaran
di luar negeri dipilihnya menjadi langkah lanjutan.
Untuk
pengejaran obligor/debitur di sana, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara (Jamdatun) sudah memberikan saran kepada Satgas bagaimana harus memulai.
"Pemanggilan
telah dilakukan untuk di luar negeri, kebanyakan ada di Singapura. Dan kita
koordinasi dengan Dubes di Singapura," pungkas Rio. [dhn]