Di sisi lain, Bhima tak memungkiri bahwa negara maju juga punya kepentingan, termasuk komitmen dengan Kesepakatan Paris. Ada poin di mana negara maju harus membantu pendanaan negara berkembang. Ia meyakini negara maju atau G7 mengejar hal tersebut.
"Jangan sampai di titik ini karena waktunya sangat mepet dan terbatas, mereka tutup mata tanpa melihat realitanya. Mereka memberikan uang tanpa melihat secara teknis implikasi dari pendanaan atau pinjaman tadi apakah betul-betul sesuai dengan konsep transisi energi yang ideal," tegas Bhima.
Baca Juga:
Sholat Isya di Masjid Fatahillah, Wali Kota Binjai Serahkan Dana HibahÂ
Menurutnya, ketika JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM) diluncurkan, tidak ada dasar munculnya komitmen angka Rp314 triliun. Selain itu, tidak ada rincian implikasi investasi EBT dalam segi jumlah dan lokasi.
"Saya kira ini harus ada penyeimbang, jangan sampai negara maju hanya melakukan upaya greenwashing," pungkasnya.
Terlepas dari kritik tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah telah menerima dana US$20 miliar atau Rp314 triliun untuk mendukung transisi energi. Anggaran ini bakal digunakan membangun energi hijau, seperti tenaga air, biomassa, hingga memensiunkan PLTU batu bara.
Baca Juga:
Gelar Bimtek Pengelolaan Dana Hibah Pilkada, Ketua KPU Kota Bekasi Sampaikan Hal Ini
"Setidaknya ada US$20 miliar indicated dana untuk Indonesia saja yang berasal dari berbagai sumber yang bisa kemudian digunakan dalam rangka transisi energi tadi. Jadi ini semua satu paket," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di BICC Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11). [ast]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.