WahanaNews.co | Indonesia berpotensi kehilangan dana hibah atau pinjaman sebesar US$20 miliar atau setara dengan Rp314 triliun (asumsi kurs Rp15.717 per dolar AS) untuk transisi energi.
Risiko kehilangan dana yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP) itu muncul jika Indonesia tidak transparan dan adil dalam pengembangan energi terbarukan.
Baca Juga:
Sholat Isya di Masjid Fatahillah, Wali Kota Binjai Serahkan Dana HibahÂ
JETP adalah dana hibah atau pinjaman besutan kemitraan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang berada di bawah G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan periode 6 bulan pertama JETP sangat krusial. Jika tidak sesuai dengan prinsip berkeadilan, realisasi komitmen Rp314 triliun bisa berkurang bahkan ditikung negara lain.
"Jika dalam 6 bulan pertama tidak sesuai prinsip berkeadilan, ada beberapa konsekuensi, salah satunya komitmen pendanaan yang Rp314 triliun itu mungkin akan menurun, akan terjadi koreksi dalam realisasinya. Konsekuensinya angka tadi hanya sekedar angka, tapi realisasinya tidak sebesar itu, akan dievaluasi," katanya dalam konferensi pers Celios, Kamis (17/11).
Baca Juga:
Gelar Bimtek Pengelolaan Dana Hibah Pilkada, Ketua KPU Kota Bekasi Sampaikan Hal Ini
Bhima menekankan, dana JETP yang didapat Indonesia lebih besar dari yang diterima Afrika Selatan. Namun, ada potensi koreksi dana jika RI masih mengabaikan prinsip transparansi dan berkeadilan atau melakukan upaya nakal lain, seperti menyelipkan energi baru dan terbarukan (EBT) yang bukan prioritas atau overvalue dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dipensiunkan.
Ia juga menyoroti soal detail kesepakatan dalam pemberian bantuan tersebut. Pasalnya, diskusi dilakukan secara tertutup hingga tiba-tiba muncul komitmen Rp314 triliun.
Padahal jika dilihat dari landasan hukum transisi energi di Indonesia, masih perlu revisi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Di sisi lain, Bhima tak memungkiri bahwa negara maju juga punya kepentingan, termasuk komitmen dengan Kesepakatan Paris. Ada poin di mana negara maju harus membantu pendanaan negara berkembang. Ia meyakini negara maju atau G7 mengejar hal tersebut.
"Jangan sampai di titik ini karena waktunya sangat mepet dan terbatas, mereka tutup mata tanpa melihat realitanya. Mereka memberikan uang tanpa melihat secara teknis implikasi dari pendanaan atau pinjaman tadi apakah betul-betul sesuai dengan konsep transisi energi yang ideal," tegas Bhima.
Menurutnya, ketika JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM) diluncurkan, tidak ada dasar munculnya komitmen angka Rp314 triliun. Selain itu, tidak ada rincian implikasi investasi EBT dalam segi jumlah dan lokasi.
"Saya kira ini harus ada penyeimbang, jangan sampai negara maju hanya melakukan upaya greenwashing," pungkasnya.
Terlepas dari kritik tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah telah menerima dana US$20 miliar atau Rp314 triliun untuk mendukung transisi energi. Anggaran ini bakal digunakan membangun energi hijau, seperti tenaga air, biomassa, hingga memensiunkan PLTU batu bara.
"Setidaknya ada US$20 miliar indicated dana untuk Indonesia saja yang berasal dari berbagai sumber yang bisa kemudian digunakan dalam rangka transisi energi tadi. Jadi ini semua satu paket," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di BICC Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11). [ast]