WAHANANEWS.CO, Jakarta - Anak-anak kini menjadi kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan di ruang digital.
Kemudahan akses internet yang semakin meluas membuka peluang sekaligus risiko besar bagi mereka, terutama terkait paparan konten yang tidak sesuai usia.
Baca Juga:
PPATK Ungkap Transaksi Turun Drastis di 2025, Warga RI Tinggalkan Judol
Berdasarkan laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) tahun 2024, tercatat sebanyak 5.566.015 konten pornografi anak di Indonesia selama periode 2021–2024.
Angka tersebut menunjukkan masih tingginya tingkat kerentanan anak terhadap kejahatan seksual berbasis digital.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 89 persen anak berusia lima tahun ke atas sudah menggunakan internet, dengan sebagian besar mengakses media sosial.
Baca Juga:
Pemerintah Buka Konsultasi Publik untuk Penguatan Organisasi Museum Penerangan
Kondisi ini menjadikan anak-anak semakin mudah terpapar konten negatif jika tidak disertai pengawasan dan perlindungan yang memadai.
Sebagai langkah konkret, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS).
Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam memastikan keamanan anak di dunia maya dengan mengatur tata kelola, tanggung jawab, serta kewajiban platform digital dalam melindungi pengguna anak.
PP TUNAS juga menegaskan kewajiban bagi penyelenggara platform digital untuk melakukan verifikasi usia dan menerapkan sistem penyaringan konten sesuai kategori umur.
Selain itu, diatur pula sanksi tegas bagi platform yang melanggar ketentuan perlindungan anak tersebut.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menekankan bahwa PP TUNAS merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menjaga anak-anak dari kejahatan di ruang siber.
Ia menegaskan, kebijakan ini tetap diterbitkan meskipun menghadapi penolakan dari sejumlah perusahaan digital besar.
“Bagi perusahaan-perusahaan ini kita adalah pasar, karena itu tentu ada reaksi ketika pasarnya dipotong. Tapi alhamdulillah karena kepemimpinan Bapak Presiden yang teguh, beliau menyampaikan bahwa ini memang sudah harus jalan seperti itu, kita harus melindungi anak-anak kita,” ujar Meutya saat menyampaikan Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis ke-45 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Sabtu (8/11/2025).
Meutya menambahkan, Indonesia menjadi negara kedua di dunia setelah Australia yang menerapkan regulasi penundaan akses anak terhadap platform digital.
Saat ini, pemerintah juga tengah mematangkan sistem pengawasan dan penegakan hukum bagi platform yang tidak mematuhi aturan tersebut.
“Saat ini kita masih punya waktu untuk melakukan perbaikan sistem untuk nanti kita akan betul-betul terapkan sanksi. Sanksi ini dikenakan terhadap platform, bukan kepada ibu, bukan kepada anak,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) terus berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama orang tua dan anak-anak, mengenai cara berinternet yang aman dan beretika.
Meutya meyakini, seluruh upaya ini akan membentuk generasi muda Indonesia yang cerdas digital, beretika, dan toleran, sehingga mampu menjadi pemimpin masa depan yang siap menghadapi tantangan dunia digital secara positif.
Dalam kegiatan tersebut, Menkomdigi Meutya Hafid didampingi oleh Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Fifi Aleyda Yahya.
Turut hadir pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi, Rektor Universitas Sumatera Utara Muryanto Amin, Wakil Bupati Serdang Bedagai Adlin Umar Yusri Tambunan, Pj. Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Sulaiman Harahap, serta sivitas akademika Universitas Sumatera Utara.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]