WahanaNews.co | Isu keretakan hubungan antara Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Andika Perkasa dengan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman mencuat ke publik.
Gelagat ini terendus sejumlah anggota Komisi I DPR. Mereka melihat jika ada Jenderal Andika dalam sebuah acara, di situ pasti tak ada Jenderal Dudung. Begitu sebaliknya.
Baca Juga:
Marsda TNI Deni Hasoloan, Adik Jenderal Maruli Simanjuntak yang Kini Menjabat Pangkoopsud II
Misalnya saat upacara pembukaan Latihan Bersama (Latma) Super Garuda Shield pada Agustus lalu. Dalam acara itu Andika hadir, namun Dudung absen.
Kemudian saat Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI baru-baru ini, Andika datang bersama jajarannya, namun Dudung tak hadir. Dudung mengaku sedang melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Terbaru dalam upacara pengukuhan Komponen Cadangan (Komcad) 2022, Andika yang absen. Sementara Dudung hadir.
Kabar ketidakharmonisan ini ditengarai dipicu anak Dudung yang gagal mengikuti seleksi Akademi Militer (Akmil). Namun, Andika menepis isu tersebut. Menurutnya, anak Duduk telah tergabung dalam Akmil.
Baca Juga:
KSAD Maruli: Tak Ada 'Perang Bintang' dalam Pilgub Jateng 2024
Di sisi lain, Dudung juga mengaku tak memiliki masalah dengan Andika. Menurutnya, perbedaan pendapat antara Panglima dan KSAD itu biasa. Dudung menegaskan selalu mengikuti perintah Panglima.
Pengamat Bidang Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini menilai sikap Andika serta Dudung bakal berdampak kepada institusi TNI.
Connie menyebut ketidakharmonisan dua jenderal bintang empat itu dapat memicu hubungan tidak sehat antar bawahan.
"Paling fatal ini akan bisa memecah belah TNI, tidak hanya antara Panglima dan KSAD, tapi bisa juga kepada seluruh prajurit TNI. Karena ini akan berdampak tidak sehat pada pasukan, apalagi ini akan berdampak pada kohesi dan integrasi angkatan," kata Connie kepada CNNIndonesia, Jumat (9/9/22).
Connie mengatakan mereka harus menyelesaikan masalah ini agar tidak muncul opini persaingan antara Andika dan Dudung. Dalam kasus ini, ia juga menilai Dudung terkesan lebih arogan daripada Andika.
Connie kemudian mewanti-wanti keduanya terkait tupoksi mereka dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal 15 disebutkan 12 tugas dan kewajiban Panglima TNI. Sementara dalam Pasal 16 mengatur empat tugas dan kewajiban KSAD.
Ia juga mengingatkan Andika bahwa tugasnya adalah menyatukan tiga matra.
"Menurut saya, kalau melihat KSAD Dudung dan Panglima Andika, ini terkesan pak KSAD ini arogan, tidak patuh terhadap komandannya. Kemudian itu akan menampar atau menurunkan wibawa Panglima TNI," ujarnya.
Lebih lanjut, Connie berpendapat partai politik (parpol) yang mulai menggaet nama-nama yang masih aktif sebagai pejabat TNI membuat potensi hubungan mereka semakin tidak akur.
Beberapa waktu lalu NasDem mengumumkan tiga nama bakal calon presiden 2024. Salah satu nama yang muncul adalah Andika.
Sementara nama Dudung juga digadang-gadang menjadi calon wakil presiden imbas popularitasnya yang melonjak belakangan ini lantaran sejumlah aksi dan pernyataan kontroversialnya yang berhasil menarik perhatian publik.
"Kalau kita mau mengoreksi TNI hari ini, kita juga harus mengoreksi sipil kita. Apakah kita sudah mampu melepaskan diri mengganggu mereka ke dalam politik aktif, karena itu sangat berpengaruh menurut saya," kata Connie.
Berbeda dengan Connie, Pengamat Militer dan Pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat isu kerenggangan hubungan antara Panglima TNI dan KSAD yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan berdampak begitu besar pada TNI.
Dengan syarat, keduanya tetap profesional dan menjalankan tupoksi masing-masing. Khairul juga tak mempersoalkan apabila benar terdapat masalah personal dari keduanya.
"Tapi ketidakselarasan itu harus ada batasnya, terutama kalau bicara TNI, loyalitas kepada negara dan konstitusi," ujar Khairul, Jumat (9/9).
Khairul menilai ketidakhadiran Dudung ketika Andika hadir dan sebaliknya sebetulnya masih dalam tahap wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Absennya salah satu pejabat itu juga disertai alasan tugas.
Ia menyebut friksi-friksi dalam tubuh TNI bukan hal baru. Contohnya seperti pada era Jenderal Besar TNI (Purn) Sudirman dan Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution.
"Ini masih normal menurut saya, yang sebelumnya bahkan saya kira lebih parah. Zaman Pak Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan mantan Panglima TNI Pak Gatot Nurmantyo. Rumor ketidakcocokan dan kabarnya sempat mengeras. Tapi toh masing-masing mereka bisa menyelesaikan tugas sampai akhir," katanya.
Berangkat dari situ, Khairul meyakini yang dibutuhkan masing-masing pihak adalah profesionalitas kerja.
"Mereka harus sama-sama profesional, mengedepankan profesionalitas," imbuhnya.
Khairul pun menyentil parpol di Indonesia yang 'genit' terhadap pejabat TNI yang masih aktif. Menurutnya, memang tidak ada larangan baik bagi Andika maupun Dudung nantinya berlabuh pada kontestasi politik.
Namun, mereka tidak boleh melakukannya saat masih aktif menjabat sebagai pimpinan dalam tubuh TNI.[zbr]