WahanaNews.co | Komisi III DPR telah tetapkan Johanis Tanak sebagai calon pimpinan KPK terpilih untuk menggantikan eks Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Johanis berbicara soal restorative justice atau keadilan restoratif dalam korupsi.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
Hal ini disampaikan Johanis dalam proses uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di depan para anggota Komisi III DPR.
Dia menyampaikan idenya terkait penggunaan restorative justice atau keadilan restoratif dalam korupsi.
"Namun hal itu (restorative justice) sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," kata Johanis di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
"Di mana, kalau saya mencoba menggunakan restorative justice dalam korupsi, saya akan menggunakan adalah UU tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," sambungnya.
Sebagai informasi, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Sehingga penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi karena alasan telah mengembalikan kerugian negara merupakan alasan yang tidak tepat.
Diwawancara terpisah, Johanis kemudian menjelaskan lebih lanjut soal idenya itu. Johanis lalu membandingkan penggunaan keadilan restoratif kepada Mike Tyson dalam kasus pemerkosaan. Diketahui, Mike membayarkan kepada negara sebelum masa hukumannya habis.
"Sebelum habis masa hukuman dia membayar kepada negara, setelah dia membayar dia bebas. Setelah bebas dia takut melakukan perbuatan kejahatan, karena apa, 'saya capek cari duit, saya ditangkap, hanya untuk bayar lagi'," kata Johanis kepada wartawan seusai rapat fit and proper test.
Dia mengatakan keadilan restoratif dalam kasus korupsi tetap punya efek jera kepada pelaku. Sebabnya, pelaku harus membayarkan denda dan kerugian negara atas korupsi yang dilakukannya.
"Sekarang di Belanda, rutan kosong, karena berapa besar biaya untuk memproses satu proses perkara. Sementara yang namanya korupsi, negara berusaha jangan sampai uang negara keluar, tapi dengan proses begitu berapa banyak uang negara yang harus keluar," ujar Johanis.
Selain itu, lanjut Johanis, penerapan keadilan restoratif membuat negara tak perlu mengeluarkan biaya dalam memproses perkara kasus korupsi.
Dia kemudian menyinggung kasus Hambalang ketika negara mengeluarkan biaya untuk perkara tersebut.
"Kalau uang negara sudah keluar, tambah lagi proses berapa lagi uang negara keluar. Ini yang harus dipikirkan negara, sehingga dana negara untuk pembangunan demi keadilan masyarakat bangsa dan negara itu tercapai," ujar Johanis.
"Sekarang teman-teman mikir, itu ada Hambalang. Prosesnya berapa biayanya keluar. Pembangunan tidak berjalan. Untuk apa, berapa negara rugi di situ. Nah, ini yang kita pikirkan bagaimana caranya, sehingga meskipun ada proses pembangunan tetap berjalan. Ilustrasinya begitu," imbuh dia. [rin]