WahanaNews.co | Wakil Presiden (Wapres) Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyebut ada perbedaan besar antara
ekonomi Indonesia dengan negara-negara lainnya di dunia. Hal ini
bisa terlihat dari perusahaan-perusahaan besar di negaranya.
"Keadaan ekonomi kita sangat
berbeda dibanding negara lain. Ekonomi Amerika,
perusahaan paling majunya sekarang IT. Dulu, tahun 1960-70, perusahaan raksasa paling kayanya adalah perusahaan minyak Chevron,
Exxon, dan sebagainya. Di Jepang, bankir
SoftBank atau perusahaan lainnya. Korea Selatan IT juga, Samsung. Sementara
India, orang paling kayanya di energi," kata JK, dalam International Virtual Conference 2020 INDEF, Rabu (9/12/2020).
Baca Juga:
JK Beda Pandangan Dengan Jokowi Terkait Hilirisasi: RI Kembali Ke Zaman VOC
Menurut JK, berbeda dengan negara-negara di atas,
Indonesia bisa terbilang unik. Sayangnya, bukan dalam konteks positif,
melainkan sebaliknya.
Perbedaan itu terjadi akibat pola
hidup masyarakatnya yang berbeda dengan negara-negara lain.
"Di Indonesia, paling beda dengan negara-negara lain di dunia ini. Orang terkaya
nomor satu, dua, dan tiga, adalah pengusaha
rokok. Berarti, orang
Indonesia itu berani-berani, meski di bungkusnya ditulis dapat menyebabkan
kanker, kematian, tetap saja rokok maju. Jadi, orang Indonesia berani, walau diancam kanker dia nggak
peduli. Sehingga, orang paling kaya 1,2,3 itu pengusaha
rokok. Di mana di dunia ini yang kaya gitu? Enggak ada," sebut JK.
Baca Juga:
Soroti Koalisi Paslon 1 dan 3, JK: Bisakah Persatukan Bu Mega dan Pak Jokowi Sekarang?
Perbedaan itu yang seharusnya bisa
menjadi perubahan ke depan. Tidak bisa dipungkiri, JK pun merasa ada perasaan
bersalah karena tidak mampu merubah itu kala masih menjabat sebagai petinggi
negara.
Pasalnya, ia memberi
bocoran bahwa banyak tantangan yang dihadapi, termasuk pejabat-pejabat yang pro
terhadap kebijakan rokok.
"Jadi, ini kesempatan untuk merubah struktur ekonomi kita. Saya ikut
bersalah sebetulnya, 2 kali jadi Wapres, walaupun 2 kali kabinet itu berusaha mengupayakan agar rokok
dikurangi, enggak jadi dinaikkan, ternyata enggak terlalu berhasil, karena banyak juga pendukungnya, termasuk
dalam pemerintahan," ungkapnya.
"Jadi, ini
masalah yang harus kita hadapi, dan kita akan hadapi. Karena, kalau pengusaha
rokok yang terus 1, 2, 3, pasti enggak sustainable ekonomi kita," jelasnya. [qnt]